Keraton Kadariyah di Kampung Dalam Bugis, Pontianak, yang didirikan Sultan Syarif ’Abdurrahman Al-Kadri pada tahun 1771 itu, menyimpan dua buah benda berpasangan yang sangat indah. Keduanya adalah cermin besar buatan Perancis dari abad kedelapan belas. Keduanya begitu menjulang, lebih dari dua meter. Bingkainya cantik, penuh ornamen berkilauan. Meja rias yang menyatu dengannya berkaki logam penuh ukiran. Tetapi yang paling menarik adalah bahwa kedua cermin ini dipasang berhadapan.
Maka apa?
Keduanya saling menampakkan bayangan kawannya, berbolak-balik pantul memantul, kian dalam makin kecil hingga titik jauh yang seakan tak terhingga. Di dalam bayangan, ada bayangan. Ada lagi dan lagi. Sepertinya mereka saling mengaca, terus menerus tanpa henti hingga jumlah bayangnya tak lagi bisa dihitung. Orang-orang menyebut mereka berdua sebagai ‘Kaca Seribu.’
Mungkin begitulah seharusnya kita dalam dekapan ukhuwah. Kita terus saling bercermin tanpa lelah. Kita menampilkan bayangan terindah yang akan berlipat-lipat tanpa henti sebab hati kita dan orang yang kita cintai terus saling belajar dan saling memahami. Lalu kita menjadi sepasang saudara yang tak hanya bernilai dua, melainkan seribu atau bahkan tak terhingga.
***
Sebuah sore yang lengang dan matahari lamat-lamat. Kami sedang menyimak sebuah hadits, dan mencoba mengukur diri sampai di mana peran kami ketika datang petunjuk dan ilmu dari Sang Nabi. Adakah kami Naqiyah, atau sekedar Ajaadib? Atau jangan-jangan kami bahkan lebih jelek dibanding Qii’an?
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang aku dapatkan dari Allah,” demikian Rasulullah bersabda, “Adalah seperti permisalan air hujan yang deras menimpa bumi. Ada di antara tanah bumi itu Naqiyah, menerima air lalu menumbuhkan rumput yang rimbun dan tumbuhan yang lebat. Ada juga Ajaadib, ia menampung air lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya. Mereka minum, mengambilnya, member minum ternaknya, dan bercocok tanam. Air hujan ini juga menimpa sejenis tanah lain yaitu Qii’aan yang sekedar dilewati saja. Ia tidak menerima air dan tidak menumbuhkan rumputan.”
Seusai mengkaji dan mengangguk setengah mengerti, seorang kawan menatap dalam-dalam ke mata saya dan bertanya. “Jika seorang buta berkata padamu bahwa matahari itu gelap,” ujarnya, “Apa yang akan kau katakan padanya?”
Saya tersenyum. Saya menunduk sejenak, memejamkan mata, menghela nafas dan merasakan tiap butir udara mencurahkan kenyamanan dalam dada. Lalu saya angkat dagu, menjawab sembari tersenyum lagi. “Akan kukatakan padanya: ‘Ya. Engkau benar, Saudaraku. Tapi bukankah ia hangat? Dan kita sama-sama merasakannya.’”
Kawan saya tersenyum. Tulus, saya tahu. Rigi-rigi otot di pertemuan kelopak atas dan bawahnya menegas. “Terima kasih,” katanya. “Engkau mengajariku perkara yang sangat berharga.” Dia tersenyum lagi. Saya tak mengerti, lalu takjub menanya, “Apa itu?” Saya tak merasa sedang mengajarkan apapun. Saya hanya menjawab sebuah umpama.
“Engkau pasti tahu. Dan belajarlah untuk mengetahui bahwa engkau tahu.” Dia berlalu pergi.
Dia pergi meninggalkan perenungan untuk saya. Saya harus banyak belajar darinya. Dalam dekapan ukhuwah, meninggalkan renungan untuk saudara adalah sebuah karya dan keterampilan yang penuh makna.
“Engkau pasti tahu,” katanya. Saya hanya bisa meraba dan menduga. Bahwa agar terasa bagi sesama, dalam dekapan ukhuwah kita harus belajar menghadirkan rasa terbaik kita. Bukan gemerlap cahaya. Bahwa dalam dekapan ukhuwah yang berharga adalah apa yang bisa kita nikmati bersama, bukan sesuatu yang secara egois kita sesap sendiri. Inilah asas agung bagi buku ini, Dalam Dekapan Ukhuwah. Maka untuk meraihnya, kita telah diajari menelusur beberapa butir pokok:
Pertama; dalam dekapan ukhuwah, iman kita diukur dengan mutu hubungan yang kita jalin. Seorang mukmin adalah seorang yang sesama aman dari gangguannya, merasakan ramah dan akhlaknya, serta menikmati kemanfaatan harta dan jiwanya.
Kedua; seiring itu, sebuah hubungan dalam dekapan ukhuwah harus didasarkan pada iman. Sebab segala jalinan yang jauh dari iman pasti sia-sia di sisiNya. Atau dia menjadi penyesalan yang tak putus-putus. Atau menjadi permusuhan di hadapan pengadilan akhirat; saling tuduh, saling tuntut, dan saling menyalahkan. “Aduhai celaka aku,” keluh sang kekasih tanpa iman, “Anda saja tak kujadikan si Fulan sebagai kawan mesraku!”
Ketiga; bahwa baik iman maupun ukhuwah bukanlah hal yang semula jadi dan bisa muncul sendiri. Hubungan antara keduanya juga bukanlah kaidah sebab-akibat. Keduanya adalah pemahaman sekaligus keterampilan. Keduanya perlu ikhtiar dan kerja-kerja. Keduanya dihadirkan dalam diri dengan upaya. Kita harus mempelajari ilmunya, memahami makna-makna, memperhatikan kaidahnya, melatih dan mengamalkannya di alam pergaulan.
***
“Dan belajarlah untuk mengetahui bahwa engkau tahu,” kata kawan saya tadi.
Ah, barangkali ini sindiran terindah yang pernah saya terima. Biar saya tebak: belajar mengetahui bahwa saya ini tahu berarti saya tak boleh berhenti dalam kata. Saya tak boleh selesai sekedar berkalimat. Lembar-lembar buku Dalam Dekapan Ukhuwah ini menanti untuk diukirkan dalam diri melalui amal shalih di tiap bilangan hari.
Tulisan saya berlembar-lembar lalu mungkin menjadi bukti baginya bahwa “saya sedikit tahu”, meski ilmu saya sesungguhnya dangkal dan kering. Penyampaian yang meloncat-loncat adalah bukti betapa tak eloknya buku ini hendak menuntun pembaca. Pembacanya pasti merasa bukan digandeng mesra meniti makna, melainkan diajak meliuk, melompat, terbang, menukik, bahkan kadang terjerembab namun bangkit dan berlari lagi.
Juga, tak ada yang baru dari buku ini, kecuali mungkin komposisi dan cara menyajikannya. Dan sungguh ini buku yang tak selesai, tak final, tak hendak putus. Selalu masih ada benih terlewat yang akan berkembang jadi bunga-bunga penuh cinta di antara kita.
Adapun “belajar mengetahui bahwa saya tahu” adalah dengan mengerjakan segala yang tertulis. Sebelum begitu, maka buku ini hanya jasad mati. Sebab ruhnya ada di sini; dalam amal-amal yang saya harus berjuang untuk tahan dan teguh menjalani. Sebab itu saya mohon doa. Saya mohon doa agar mendapat karunia seperti disebut Sayyid Quthb ketika menutup tafsirnya tentang pohon yang baik di Surat Ibrahim. Karunia itu adalah keteguhan.
“Allah,” tulis Sayyid, “Meneguhkan orang-orang yang beriman di kehidupan dunia dan di akhirat dengan kalimat iman yang mantap di dalam hati, yang kokoh di dalam fitrah, dan yang membuahkan amal shalih nan selalu baru dan abadi dalam kehidupan.” Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji…
Mari saling mendoa dan mengejanya dengan kerja, dalam dekapan ukhuwah..
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah