Seharusnya dia boleh beristirahat di malam hari. Siang demi siang terasa panjang, melelahkan, dan menyesakkan dada. Ke sana kemari dia susuri Makkah dari ujung lain ke ujung satu, berbisik dan berseru. Dia ajak orang satu demi satu, kabilah suku demi suku, untuk mengimani risalah yang diamanahkan kepadanya.
Dia terkadang terlihat di puncak bukit Shafa, membacakan ayat-ayat yang dibalas caci maki dan hinaan menjijikan dari pamannya sendiri. Dia kadang harus pergi, dengan meningalkan suatu kaum dengan dilempari batu dan kotoran sambil diteriaki gila, dukun, penyihir, dan penyair ingusan.
Dia kadang sujud di depan Ka’bah, lalu seseorang akan menuangkan setimba isi perut unta ke punggungnya, menginjak kepala, atau menjeratkan ke leher saat ruku’nya.
Dia terkadang harus menangis dan menggumamkan ketakberdayaan melihat sahabat-sahabatnya yang lemah dan terbudak disiksa di depan mata. Kejam dan keji.
Dia sangat lelah. Jiwa maupun raga. Dia sangat payah. Lahir maupun batin. Tenaganya terkuras. Luar maupun dalam. Tetapi saat Khadijah membentangkan selimut untuknya ﷺ dan dia mulai terlelap dalam hangat, sebuah panggilan langit justru memaksanya terjaga.
“Hai orang yang berselimut. Bangunlah di malam hari kecuali sedikit. Separuhnya, atau kurangilah yang separuh itu sedikit. Atau tambahlah di atasnya, dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (Q.s. Al-Muzammil [73]: 1-4)
Untuk apa?
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (Q.s. Al-Muzammil [73]: 5)
Seberat apa?
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah berantakan disebabkan takut kepada Allah” (Q.s. Al-Hasyr [59]: 21)
Itu kalimat yang berat. Itu beban yang berat. Beban yang gunung-gunung tak sanggup menanggung. Beban yang dihindari oleh langit dan bumi. Dan Muhammad ﷺ harus menerimanya. Dia harus menanggungnya. Maka hatinya harus lebih kokoh dari gunung. Maka jiwanya harus lebih perkasa dari bumi. Maka dadanya harus lebih lapang dari lautan. Karena itu dia harus bangun di waktu malam untuk menghubungkan diri dengan sumber kekuatan yang Maha Perkasa.
Itu pula yang disadari Muhammad Al Fatih jelang penaklukan Konstantinopel. Qiyamullail yang membuat hamba melangit adalah harga mutlak panglima terbaik. Maka hanya Sang Sultan muda penyuka warna merah ini yang tersisa berdiri, ketika tanya digemakan, “Siapa yang pernah meninggalkan qiyamullail sejak balighnya, silakan duduk!”
Kami kenang semua itu dari Hafiz Mustafa-Istanbul, antikan seri “Al Fatih” dari @fullheart.corp, follow dan simak media sosilanya untuk cerita dan makna di balik busana, sepenuh hati berfeseyen syar’i.