Sekiranya ku menjadi Muhammad
Takkan sudi ku beranjak ke bumi
Setelah sampai di dekat ’Arsyi
-’Abdul Quddus, Sufi Ganggoh-
Buraq namanya. Maka ia serupa barq, kilat yang melesat dengan kecepatan cahaya. Malam itu diiring Jibril, dibawanya seorang Rasul mulia ke Masjidil Aqsha. Khadijah, isteri setia, lambang cinta penuh pengorbanan itu telah tiada. Demikian juga Abu Thalib, sang pelindung yang penuh kasih meski tetap enggan beriman. Ia sudah meninggal. Rasul itu berduka. Ia merasa sebatang kara. Ia merasa sendiri menghadapi gelombang pendustaan, penyiksaan, dan penentangan terhadap seruan sucinya yang kian meningkat seiring bergantinya hari. Ia merasa sepi. Maka Allah hendak menguatkannya. Allah memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda kuasaNya.
Buraq namanya. Ia diikat di pintu Masjid Al Aqsha ketika seluruh Nabi dan Rasul berhimpun di sana. Mereka shalat. Dan penumpangnya itu kini mengimami mereka semua. Tetapi dari sini Sang Nabi berangkat untuk perjalanan yang menyejarah. Disertai Jibril ia naik ke langit, memasuki lapis demi lapis. Bertemu Adam, Yahya serta ’Isa, Yusuf, Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim. Lalu terus ke Sidratul Muntaha, Baitul Ma’mur, dan naik lagi menghadap Allah hingga jaraknya kurang dari dua ujung busur. Allah membuka tabirNya..
Allah.. Allah.. Jika melihat Yusuf yang tampan sudah membuat jari para wanita teriris mati rasa, apa gerangan rasa melihat Sang Pencipta yang Maha Indah? Atau katakan padaku shahabat, apa yang kau rasakan saat melihat Ka’bah yang mulia untuk pertama kalinya? Ya, sebuah ekstase. Kita haru. Kita syahdu. Air mata menitik. Raga terasa ringan. Jiwa kita penuh. Mulut kita ternganga. Maka apa kira-kira yang dirasakan Muhammad, Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam ketika ia mi’raj bertemu Rabbnya? Kesyahduan. Keterpesonaan. Kesejukan. Kenikmatan ruhani. Kelegaan jiwa. Tiada tara. Tiada tara. Tiada tara.
Demi Allah, alangkah indahnya, betapa nikmatnya..
Maka ada benarnya Sufi Ganggoh itu. Di saat mengalami puncak kenikmatan ruhani itu, tentu ada goda untuk bertahan lama-lama di sana. Kalau bisa, kita ingin menikmatinya selamanya. Atau setidaknya mengulanginya. Lagi dan lagi. Kesyahduan yang tak terlukiskan, ruhani yang terasa penuh, berkecipak, mengalun. Jiwa yang terpana bagaikan titik air menyatu dengan samudera, kedirian kita hilang lenyap ditelan kemuliaan dan keagungan Ilahi. Kita ingin mereguknya, menyesapnya, lalu rebah, dipeluk, direngkuh, dan menyandarkan hati di situ saja. Selama-lamanya.
Kenikmatan ruhani. Kekhusyu’an batin. Kita pasti ingin menikmatinya selalu. Kita menghasratkannya tiap waktu.
Tetapi justru di situlah salahnya.
Justru di situlah kekeliruan terbesar kita.
Coba tengok perjalanan mi’raj Sang Nabi. Ia tidak terjadi setiap hari. Ia terjadi sekali, hanya ketika deraan rasa sakit, badai kepiluan, dan himpitan beban telah melampaui daya tahan kemanusiaan. Ia terjadi ketika sang Rasul merasakan puncak kepayahan jiwa; da’wah yang ditolak, seruan yang diabaikan, pengikut yang tak seberapa, sahabat-sahabat yang disiksa, dan para penyokong utama satu demi satu mencukupkan usia. Maka satu hal yang kita maknai dari perjalanan mi’raj adalah, bahwa ia sekedar sebuah waqfah. Ia sebuah perhentian sejenak. Sebuah oase tempat Sang Nabi mengisi ulang bekal perjalanannya. Bekal perjuangannya.
Mi’raj bukanlah titik akhir dari perjalanan itu. Merasakan kenikmatan ruhani yang dahsyat bukanlah tujuan dari perjalanan hidup dan risalahnya. Itulah yang membuat Sang Nabi dan Sang Sufi dari Ganggoh bertolak belakang. Jika Sang Sufi memandang ekstase kenikmatan ruhani itu sebagai tujuan hidupnya, Sang Nabi sekedar menjadikannya sebuah rehat. Sejenak mengambil kembali energi ruhani, mengisi ulang stamina jiwa. Sesudah itu dunia menantinya untuk berkarya bagi kemanusiaan. Dan iapun, kata Muhammad Iqbal dalam Ziarah Abadi, menyisipkan diri ke kancah zaman.
Padaku malaikat menawarkan,
”Tinggallah di langit ini, bersama syahdu sujud-sujud kami
Bersama kenikmatan-kenikmatan suci”
”Tidak!”, kataku, ”Di bumi masih ada angkara aniaya
Di sanalah aku mengabdi, berkarya, berkorban
Hingga batas waktu yang telah ditentukan.”
Inilah jalan cinta para pejuang. Para penitinya bukanlah para pengejar ekstase dan kenikmatan ruhani. Mereka adalah pejuang yang mengajak pada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dalam kerja-kerja besar itu, terkadang mereka merasa lelah, merasa lemah, merasa terkuras. Maka Allah menyiapkan mi’raj bagi mereka. Sang Nabi yang cinta dan kerja da’wahnya tiada tara itu memang mendapat mi’raj istimewa; langsung menghadap Allah ’Azza wa Jalla. Kita, para pengikutnya, berbahagia mendapat sabdanya, ”Saat mi’raj seorang mukmin adalah shalat!”
Shalat, kata Sayyid Quthb, adalah hubungan langsung antara manusia yang fana dan kekuatan yang abadi. Ia adalah waktu yang telah dipilih untuk pertemuan setetes air yang terputus dengan sumber yang tak pernah kering. Ia adalah kunci perbendaharaan yang mencukupi, memuaskan, dan melimpah. Ia adalah pembebasan dari batas-batas realita bumi yang kecil menuju realita alam raya. Ia adalah angin, embun, dan awan di siang hari di siang hari bolong nan terik. Ia adalah sentuhan yang lembut pada hati yang letih dan payah.
Maka shalat adalah rehat. Ketika tulang-tulang terasa berlolosan dalam jihad, rasa kebas di otot dan kulit berkuah keringat, Sang Nabi bersabda pada muadzinnya, ”Yaa Bilal, Arihna bish shalaah.. Hai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat!”
Berhala Kekhusyu’an
Seorang musafir berhenti di sebuah Masjid. Ia lelah, gerah, penat, pegal, dan pening. Terlebih, sepanjang jalan ia merasa sepi di tengah ramai, dan asing di tengah khalayak. Di masjid itu ia menemukan ketenangan. Wudhunya serasa membasuh seluruh jiwa raga. Ketika air itu menyapu, ia seperti bisa melihat noktah-noktah hitam dosanya luntur berleleran, mengalir hanyut bersama air. Dalam shalatnya ia benar-benar merasa berdiri di hadapan Sang Pencipta. Tiap bacaannya seolah dijawab olehNya. Ia merasakan getar keagungan. Ini pertama kalinya ia bisa terisak-isak dalam sujudnya. Hatinya diselimuti perasaan tenteram, sejuk, penuh makna. Dia merasakan sebuah ekstase.
Saat lain ia lewat di masjid itu. Ia memang sengaja ingin shalat di sana. Ia rindu kekhusyu’annya. Masjid ini memancarkan keagungan. Pilar-pilarnya tegak kokoh, berlapis marmer kelabu. Kolom-kolom setengah lingkarannya manis dengan ukiran geometris. Lampu-lampunya remang dibingkai logam mengilat bersegi delapan. Lantainya lembut menyambut tiap sujud, dingin menyejukkan khas granit hitam.
Ia memilih shalat di sebalik tiang berbalut kuningan yang berukir ayat suci. Ia mencoba menghayati shalatnya. Tapi aneh. Kali ini, ia tak menemukan getar itu. Ia kehilangan kekhusyu’annya. Benar. Ia kehilangan semua perasaan itu. Tak ada ekstase. Tak ada kelezatan ruhani. Tak setitikpun air matanya sudi meleleh. Dalam sesal ia menguluk salam. Ke kanan, lalu ke kiri. Dan matanya menumbuk terjemah sebuah kaligrafi di dinding selatan. Terbaca olehnya, ”Barangsiapa mencari Allah, ia mendapatkan kekhusyu’an. Barangsiapa mengejar kekhusyu’an, ia kehilangan Allah.”
♥♥♥
Alangkah malang para penyembah kekhusyu’an. Khusyu’ menjadi tujuan, bukan sarana menuju Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Maka perhatian utama dalam shalatnya terletak pada bagaimana caranya agar khusyu’, atau setidaknya terlihat khusyu’. Ayuhai, andai kau tahu bagaimana Sang Nabi dan sahabat-sahabatnya shalat. Mereka mendapatkan kekhusyu’an bukan karena mencarinya. Mereka khusyu’ karena shalat benar-benar perhentian dari aktivitas maha menguras di sepanjang jalan cinta para pejuang. Mereka khusyu’ karena payahnya diri dan kelelahan yang membelit melahirkan rasa kerdil dan penghambaan sejati.
Seperti para penyembah Al Masih merumit-rumitkan trinitas ketuhanan, berhala kekhusyu’an juga sering disulit-sulitkan. Tak salah sebenarnya mengutip kisah bahwa ’Ali ibn Abi Thalib meminta dicabut panahnya ketika beliau shalat. Agar sakitnya tak terasa karena khusyu’ shalatnya. Tak salah juga meneladani ’Abbad ibn Bisyr yang tetap melanjutkan shalat meski satu demi satu anak panah mata-mata musuh menancap di tubuh. Tapi apakah hanya itu yang disebut khusyu’?
Sang Nabi adalah manusia yang paling khusyu’. Dan alangkah indah kekhusyu’annya. Kekhusyu’an yang seringkali mempercepat shalat ketika terdengar olehnya tangis seorang bayi. Atau memperpendek bacaan saat menyadari kehadiran beberapa jompo dalam jama’ahnya. Kekhusyu’an yang tak menghalanginya menggendong Umamah binti Abil ’Ash atau Al Hasan ibn ’Ali dalam berdirinya dan meletakkan mereka ketika sujud. Kekhusyu’an yang membuat sujudnya begitu panjang karena Al Husain ibn ’Ali main kuda-kudaan di punggungnya.
Sahabat, inilah jalan cinta para pejuang. Khusyu’ dan gelora kenikmatan ruhani hanyalah hiburan dan rehat, tempat kita mengisi kembali perbekalan dan melepas penat. Ini adalah jalan cinta para pejuang. Bukan jalan para pengejar kenikmatan ruhani, hingga harus mengulang-ulang takbiratul ihram sampai sang imam ruku’. Ini bukan jalan para penikmat kelaparan yang ketakutan berkumur saat puasa tapi diam saja menyaksikan kezhaliman. Juga bukan jalan penikmat Ka’bah yang kecanduan berhaji sementara fakir miskin lelah mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci.
Senarai sejarah memberi pelajaran tentang para pengejar kenikmatan ruhani. Mereka jauh terlempar dari jalan cinta ini. Ada yang merasa diri menjadi mukmin yang baik; karena bisa menangis saat shalat, bisa terharu saat membagi zakat, bisa berdzikir hingga hilang kesadaran saat berpuasa, atau berhaji setahun sekali; terbuta mereka dari dunia Islam yang serak memangil-manggil.
Inilah mereka yang selalu bicara agama sebagai urusan pribadi. Urusan pribadi untuk menikmati kesyahduan spiritual. Bagi mereka, alangkah nikmatnya shalat khusyu’ di atas sajadah mahal, dalam ruangan berpendingin, dengan setting pemandangan yang bisa diatur berganti-ganti. Khusyu’ adalah menikmati bacaan imam bersertifikat dari audio premium, dalam hembusan harum parfum aromaterapi. Jauh di sana, di jalan cinta para pejuang, Sang Nabi shalat di
sela-sela jihad menegakkan syari’at. Dengan debu, dengan darah, dengan lelah, dengan payah.
Yang lain, mencari pelarian dari tekanan dunia yang menghimpit. Menikmati rasa tenteram karena dzikirnya, rasa melayang karena laparnya, rasa syahdu karena gigil tubuhnya. Ia bertapa dalam pakaian campingnya, hidup dalam kefakirannya, lalu merasa menjadi makhluq yang paling dicintai Allah. Tapi tak pernah wajahnya memerah ketika syari’at Allah dilecehkan. Tak pernah ia merasa terluka melihat kezhaliman. Tak pernah hatinya tergetar melihat nestapa sesama. Orang-orang semacam si Sufi dari Ganggoh. Dialah si burung unta yang merasa aman saat membenamkan kepalanya ke dalam pasir. Padahal tubuhnya terguguk tepat di depan pelupuk pemburu.
Ekstase. Kenikmatan ruhani. Kekhusyu’an. Jangan kau kejar rasa itu. Dia bukan tuhanmu. Dan tak hanya seorang muslim yang beroleh kemungkinan merasakan ekstase macam itu. Tanyakan pada seorang beragama Budha, penganut Zen, Tao, atau praktikan Yoga. Merekapun mengalaminya lewat meditasi dan rerupa puja. Seorang Nasrani dari Ordo Fransiskan yang melarat merasakannya dalam pengembaraan bertelanjang kaki ala kemiskinan Kristus. Seorang Nasrani dari Ordo Benediktin yang mewah menikmatinya dalam mengoleksi relik-relik suci peninggalan para bapa gerejawi.
Bukan itu.
Bukan itu yang kita cari.
Di jalan cinta para pejuang, berbaktilah pada Allah dalam kerja-kerja besar da’wah dan jihad. Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman. Larilah hanya menujuNya. Meloncatlah hanya ke haribaanNya. Walau duri merantaskan kaki. Walau kerikil mencacah telapak. Sampai engkau lelah. Sampai engkau payah. Sampai keringat dan darah tumpah. Maka kekhusyu’an akan datang kepadamu ketika engkau beristirahat dalam shalat. Saat kau rasakan puncak kelemahan diri di hadapan Yang Maha Kuat. Lalu kaupun pasrah, berserah..
Saat itulah, engkau mungkin melihatNya, dan Dia pasti melihatmu..
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah