Dua MADZHAB Darurat HANGAT

Dalam tradisi kuliner di Vorstenlanden Jawa, konon ada dua madzhab utama mengikuti gaya hidup awal di masing-masing ibukota pecahan Kasultanan Mataram yang bersaudara.

Di Surakarta, yang sejak masa Ingkang Sinuhun Susuhunan Pakubuwana II mengembangkan hubungan ‘saling menjaga eksistensi’ dengan VOC seperti ditandai dengan perjanjian perwalian 1749, berkembang budaya “Keplek Ilat” yang secara harfiah lebih kurang berarti “memanjakan lidah.” Maknanya, seluruh keluarga dapat saja pergi keluar untuk menikmati sajian yang diinginkan dari restoran dan warung makan.

Ini yang barangkali menjelaskan mengapa tradisi kuliner Surakarta sejak dulu berkembang pesat dan adaptif terhadap gaya masakan dari luar. Selat Solo yang menggabungkan Salad ala Barat dengan teknik dan bumbu Jawa, lalu ada Sate Buntel yang cincangan dagingnya dibungkus lemak halus, Bestik yang empuk, Sosis Solo yang gurih, Timlo yang segar, Liwet, Tengkleng dan berbagai sajian lain setidaknya menunjukkan betapa kayanya kreativitas untuk mendukung kebersamaan ala Surakarta yang dibangun dengan cara menikmati kudapan di luar rumah ini. Jajan yang berbalut keakraban.

Hidangan ala “Keplek Ilat” biasanya dinikmati fresh, segar sekali masak.

Di Yogyakarta, di mana Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwana I mengembangkan hubungan ‘perlawanan halus’ pada VOC sejak selesainya Perang Giyanti 1746-1755, tumbuh budaya “pawon anget” yang secara harfiah berarti “dapur hangat”. Maknanya adalah bahwa kebersamaan di rumah menikmati apa yang ada amat diutamakan. Di masa prihatin, ini akan berkembang menjadi “Mangan Ora Mangan Kumpul”.

Demi “Pawon Anget”, seorang istri dan ibu tertuntut untuk memasak lebih dari satu menu demi dapat berhimpunnya seluruh anggota keluarga di meja makan. Konsekuensinya, masakan hari ini dapat dihangatkan berulangkali karena salah satu anggota keluarga mungkin amat menyukainya. Di masa kini, banyak rumahtangga asli Yogyakarta yang saya kenal rela memiliki 2 lemari pendingin demi menjaga falsafah ini.

Gudeg. Inilah yang pasti tercetus pertama di benak kita tentang Yogyakarta. Baik yang berbahan Gori (nangka muda) maupun Manggar (bunga kelapa), gudeg adalah wakil sempurna untuk falsafah “Pawon Anget”. Semua pelengkapnya dari Areh, Ayam Kanil, Telur Pindang, sampai Sambal Goreng Krecek-nya adalah masakan yang jika kian dimasak-ulang seakan makin lezat. Nglendhi, kata orang Yogya. Demikian pula Brongkos yang daging dan kacang merahnya akan makin empuk, Baceman, juga Lodeh Kluwih, dan Jangan Bobor yang ‘lintrek-lintrek’.

Hidangan ala “Pawon Anget” seringnya telah dimasak ulang beberapa kali. Istilah Jawanya, “dingat-nget bola-bali.”

Kalau biasanya kami bersantap bersama di Sate Klathak ala Yogyakarta itu, kali ini Ustadz Felix Siauw dan rombongan beserta Ustadz Syarif Ja’far Baraja menjamu kami di Sate Buntel ala Surakarta. Wah ini beda madzhab sejak dari bahannya. Di Solo, kambing kacang Jawa yang berbulu hitam-coklat itu lebih utama. Di Yogya, kambing gibas yang lebih mirip domba itu amatlah disuka.

Nah, bagi kita hari ini; baik “Keplek Ilat” maupun “Pawon Anget” layak disusuri kembali demi menghidupkan sunnah dalam makan; berbincang, memuji Allah, membina keakraban, dan menghangatkan cinta.

Ketika menanggapi hadits bahwa Rasulullah meminta lauk, lalu diberi cuka, dan memujinya ketika makan, Imam An Nawawi menulis dalam Syarh Shahih Muslim, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk berbicara ketika makan, untuk membuat suasana akrab bagi orang-orang yang ikut makan.”

“Dianjurkan berbicara ketika makan”, tegas beliau dalam karyanya yang lain, Al Adzkaar. “Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir Radhiyallahu ‘Anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam ‘Bab Memuji Makanan’. Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam kitab Al Ihya’ menyatakan bahwa termasuk adab makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sembari menikmati karunia Allah, juga membicarakan kisah orang-orang yang shalih.”

Para Suami dan Istri, para Ayah dan Bunda, barangkali inilah salah satu benteng keluarga menghadapi berbagai tantangan zaman; menghidupkan kehangatan suasana makan. Adalah darurat bagi kita untuk segera meneladani Rasulullah yang mengepaskan mulutnya di bekas bibir sang istri pada cawan yang dipakai minum. Adalah darurat bagi kita menikmati sebuah anggur yang digigit bersama demi meneladaninya. Adalah darurat bagi kita menunjukkan indahnya suap menyuapi antara Ayah dan Bunda kepada putra-putrinya.

Sebab di luar sana ada internet yang tanpa batas, media sosial yang bagai pisau bermata dua, godaan game online, pornografi, narkoba, seks bebas, hingga penularan LGBT yang masif; nilai kehadiran Ayah, Ibu, serta anak dalam kebersamaan yang hangat dan mesra adalah benteng darurat kita.

Mari menjadi suami atau istri yang lebih asyik ketika disentuh dan dipencet dibanding gadget. Mari menjadi ayah atau bunda yang lebih menarik ketika disentuh dan dipencet dibanding smartphone dan tablet. Peluk cium doa Bunda; usapan dan jenggungan Ayah pada Ananda sungguh penjaga yang kukuh untuk mereka.

Ini darurat “pawon anget” dan “keplek ilat”. Ini darurat dapur hangat.

15349625_1169502993142818_1658121346966446835_n


Posted

in

by

Tags: