Di tahun 1164, Amalric I, Raja Jerusalem melancarkan serbuan ke Damietta, Mesir, yang dijaga oleh Asaduddin Syirkuh dan keponakannya Shalahuddin Yusuf. Dengan segera, Sultan Nuruddin Mahmud Zanky mengirim pasukannya untuk membantu mengamankan Mesir.
Tinggallah Nuruddin di Aleppo hanya bersama sedikit prajurit.
Menyaksikan ini, sebuah persekutuan besar bergerak cepat untuk menghancurkannya. Pangeran Konstantinos Kalamanos dari Kekaisaran Byzantium, Hugh VIII dari Lusignan, Raymond III dari Tripoli, Bohemund III dari Antioch, dan Joscelin III dari Edessa. Nuruddin menyongsong mereka di Harim.
Melihat dahsyatnya kekuatan musuh, para ‘ulama dan panglima meminta Nuruddin mundur ke Aleppo. “Jangan bahayakan kaum muslimin. Jika Anda sampai tewas di sini, seluruh dunia Islam akan jatuh.”
“Tidak”, ujarnya. “Siapalah Nuruddin? Berabad lamanya sebelum ini tak ada dia, tapi Allah selalu menjaga ummat ini dengan orang lain.”
Dia naik ke bukit sendirian. Di situlah dia kerahkan senjata terhebatnya. Dia shalat, sujud, dan berdoa. “Ya Allah, tolonglah agamamu, tolonglah agamamu”, isaknya. “Tak perlu kautolong Nuruddin Mahmud. Dia cuma anjing, siapa dia hingga mesti ditolong?”
Perangpun pecah. Sekira 10.000 ksatria salib terbunuh termasuk para Templar serta Hospitaler dan semua pemimpin yang disebut di atas ditawan oleh Nuruddin. Lalu Sang Sultan terus-terusan memikirkan Mesir. “Tiap hari”, kenang Shalahuddin kelak, “Nuruddin berkirim surat lewat merpati.”
Seorang alim agung zaman itu, Quthbuddin An Nasawi bermimpi menjumpa Rasulullah ﷺ dan dia disuruh memberitahu Nuruddin tentang kemenangan di Damietta. Dia bertanya, “Berilah patik isyarat, Baginda.” Maka Nabi ﷺ pun memberitahukan doa Nuruddin yang dibaca dalam sujudnya di Harim, yang sebelumnya hanya dia dan Allah yang tahu.
اللهم انصر دينك ولا تنصر محموداً، من محمود الكلب حتى يُنصر
Ketika hal ini dikabarkan padanya, Sang Sultan bersujud syukur terisak-isak dan berkata, “Ya Rabb, siapalah Nuruddin.. Siapalah Nuruddin..”
Kita mengenangnya kini melalui mimbarnya yang terpasang di Al Aqsha. Ya, Nuruddin wafat 13 tahun sebelum murid kesayangannya memasuki Baitul Maqdis dengan ketawadhu’an serupa pada Jumat 27 Rajab 583 H/2 Oktober 1187. Kekuatan keyakinan Nuruddin, demikian kelak sejarah mencatat, menjadi dasar kukuh bagi hadiah yang dipersembahkan Shalahuddin untuk ummat di hari Isra’ dan Mi’raj. Kembalinya Masjidil Aqsha.