Penampilan ‘Abdurrahman ibn ‘Auf tak pernah berubah. Maka saudagar agung yang sering dengan ringan meletakkan kantong berisi 40.000 dinar di pangkuan Rasulullah ﷺ, yang seribu unta niaganya pernah menderakkan Madinah lalu dijadikan infaq fi sabilillah itu sukar dibedakan dari para pegawai dan bahkan budaknya.
Suatu hari dia makan bersama para pekerja itu, dan tiba-tiba dia sesenggukan, airmatanya membanjir deras.
“Mush’ab ibn ‘Umair lebih baik dari kami”, ujarnya di tengah isak, “Dan dia tak pernah merasakan makanan yang selembut ini.”
“Ketika dia syahid dalam Perang Uhud”, sambungnya masih sambil menangis, “Tak ada kain untuk mengafaninya selain sehelai selimut usang lagi bertambal. Jika ditutupkan ke kepala, kakinya terlihat. Jika diselubungkan ke kaki, kepalanya terbuka. Maka kami tutupkan kain itu ke kepalanya, dan kami selubungi kakinya dengan rerumputan idzkhir.”
Mush’ab adalah kisah tentang hidup yang terjun ke cekikan kesukaran tepat ketika dia melapangkan hati menerima kebenaran. Dia seorang pemuda tampan, anggun, berkulit lembut, penampilannya rapi, pakaiannya mewah berselera tinggi, dan masyhur karena harumannya tercium dari jarak sekian-sekian. Tapi begitu dia mengikrarkan syahadat, ibu yang dulu sangat menyayanginya memutuskan hubungan dan semua pemberian.
“Kulit Mush’ab kering dan mengelupas”, begitu kawan-kawannya berkisah, “Bagaikan ular yang bersalin sisik.”
Beberapa tahun kemudian ketika Rasulullah ﷺ berbahagia menyaksikan benih dakwah yang disemai Mush’ab di Madinah berakar, tumbuh, dan mekar; pemuda agung itu memasuki Masjid Nabawi dengan wajah kuyu, rambut kusut, dan pakaian lusuh. Air mata Sang Nabi ﷺ meleleh ke pipi ketika menatapnya.
“Bagaimanakah kalian nanti”, sabda beliau ﷺ sambil berkaca-kaca, “Jika kalian duduk di atas singgasana-singgasana berbantal empuk bagai para raja, sementara para pelayan hilir mudik menyediakan keperluan kalian?”
Para sahabat lugu itu, yang masih berada dalam keadaan faqir lagi terusir menjawab serempak, “Kami pada hari itu, pastilah lebih baik daripada kami pada hari ini ya Rasulallah!”
“Tidak”, sanggah Sang Nabi ﷺ. “Kalian pada hari ini lebih baik daripada kalian pada hari itu.”
“Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian”, ujar beliau ﷺ lagi, “Jika dunia dibukakan bagi kalian sebagaimana telah diberikan pada kaum sebelum kalian. Lalu kalian memperebutkannya seperti mereka, hingga sebagian memukul tengkuk sebagian yang lain, kemudian kalian binasa sebagaimana orang-orang sebelum kalian binasa.”
Hidup Mush’ab pasti terlihat berat bagi siapapun yang melihatnya, apalagi bagi kita yang hidup di zaman bertakaran uang dan harta. Tapi kebahagiaan selalu menyertainya dalam dakwah maupun hidup manusiawinya. Selain ‘Abdurrahman ibn ‘Auf dan sahabat lain yang sering merujuknya sebagai teladan, saksi terkuat atas hal ini adalah Hamnah bint Jahsyi, istrinya sendiri.
Ketika kepada saudari Ummul Mukminin Zainab bint Jahsy ini dikabarkan kewafatan ayah, paman, juga kakandanya, mendung duka tak terlalu membayang di wajahnya. Tapi begitu mendengar kesyahidan Mush’ab, dia berteriak menangis meratap, dan tak satupun mampu menghiburnya.
Dengan wajah prihatin melihatnya, Rasulullah ﷺ bersabda, “Suami wanita ini punya kedudukan khusus di hatinya.” Ya, Mush’ab ibn ‘Umair, lelaki yang selalu dicintai. Betapa bahagianya.