Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan, Setiap orang adalah guru bagi kita. Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat.
Betapapun yang mereka berikan kepada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru kita. Bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.
Mereka mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang belajar untuk menjadi bijaksana. Kita belajar untuk menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya, dan rembulan yang menghias malamnya.
Tetapi barangkali, kita justru adalah tanah yang paling gersang. Lebih gersang dari sawah yang kerontang. Lebih cengkar dari lahan kering di kemarau yang panjang. Lebih tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus.
Maka bagi kita sang tanah gersang, selalu ada kesempatan menjadi murid yang bijaksana. Seperti matahari yang tak hendak dekat-dekat bumi karena khawatir nyalanya bisa memusnahkan kehidupan. Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma lahan subur, sejuk menghijau berwujud hutan.
Dan seperti batu cadas yang memberi kesempatan lumut untuk tumbuh di permukaannya. Dia izinkan sang lumut menghancurkan tubuhnya, melembutkan kekerasannya. Demi terciptanya butir-butir tanah. Demi tersedianya unsur hara agar pepohonan berbuah.
(Dari buku; Dalam Dekapan Ukhuwah. Kalau fotonya, belajar pada Google beberapa waktu lalu. Dalilnya: “Fas-aluu Google in kuntum laa ta’lamuun” ?)