Ketika mengobarkan jihad melawan VOC yang berujung Palihan Nagari antara 1746-1755, Pangeran Mangkubumi memilih blangkon koncer yang berbuntut sebagai ikat kepalanya.
Bermula dari ‘imamah atau surban yang biasa dikenakan para ‘ulama, tradisi Mataraman menyederhanakannya dengan memelipit ubelan kain hingga lekat, sehingga mudah dikenakan dan tak memakan waktu menata lembaran panjang di kepala. Ia juga hemat, karena selembar kain surban bisa cukup untuk membuat 2 blangkon. Sebagai pewaris pendekatan dakwah Kalijagan, blangkon juga menguatkan penerimaan pemakai iket dan udheng Jawa yang telah ada jauh sebelumnya.
Memilih blangkon koncer ini sebagai hadiah untuk Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul Fattah Al ‘Awaisy, Pendiri ISRA (Islamic Jerusalem Research Academy) alhamdulillah bukan pilihan sembarangan. Beliau, lembaganya, dan bahkan seluruh keluarganya telah mendarmabaktikan hidup untuk jihad ilmiah bagi Baitul Maqdis. Karyanya tentang berbagai dimensi Baitul Maqdis dari sejarah, geografi, arsitektur, hingga proyeksi masa depannya bertumpuk-tumpuk.
Istrinya, Ummu Khalid, menulis Tafsir Surat At Tiin untuk meneguhkan keutamaan tanah-tanah suci Islam. Putranya Dr. Khalid Al ‘Awaisy, memimpin proyek studi Baitul Maqdis di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Turki. Putriya, Dr. Sarah Al ‘Awaisy, menulis disertasi tentang cara Sultan-sultan Ayyubiyyah mempertahankan Mesir, Baitul Maqdis, dan Syam dengan perspektif sejarah geopolitik yang brilian.
Kami berjumpa di Istanbul dalam Daurah Baitil Maqdis bersama ISRA pekan lalu. Kota ini pula adalah kota impian Wangsa Mataram. Betapa para pujangga Mataram menulis banyak karya susastra yang menjadikan Turki sebagai pusat dunia untuk menggeser pengaruh India dalam budaya Jawa; menjadikan Sultan Algabah dan Maulana Ali Syamsu Zain dari Rum, Turki ‘Utsmani, sebagai pendukung utama protagonisnya. Betapa Susuhunan Agung Hanyakrakusuma berupaya keras mendapatkan pengakuan resmi Daulah ‘Utsmaniah untuk gelar Sultan baginya. Betapa Pangeran Dipanegara menyusun militernya seperti Janissary kebanggaan Al Fatih. Dan betapa Pangeran Mangkubumi terbujuk ketika Belanda mendandani Syarif Besar Syaikh Ibrahim di Semarang untuk menyama-nyama utusan Sultan ‘Utsmani yang memintanya menghentikan perang dan rela mendapat separuh Mataram sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang resmi diakui Daulah ‘Utsmaniyah.
Al Aqsha menanti pejuang dari bumi yang lebih jauh. Wahai para pewaris mujahid Nusantara, tetaplah bertahan dan bersiapsiagalah.