{Tersebab “lillah”, berhargalah semua lelah.}
Karena sesungguhnya shalat kita, ibadah kita, hidup kita, dan mati kita adalah untuk Allah, Rabb semesta alam; maka kita memohon padaNya untuk menganugerahkan shalat terbaik, ibadah terbaik, hidup terbaik, dan mati terbaik bagi diri kita. Karena yang patut dipersembahkan kepadaNya, hanyalah yang terbaik.
Maka 5 waktu yang ditepatkan, fajar hingga senja yang dilaparkan, harta yang ditunaikan, manasik yang dilakoni, ranjang empuk yang ditinggalkan, dingin panas yang dijelajahi, susah sedih yang disabari, kebahagiaan yang dibagi, serta keakuan yang dicampakkan adalah hidup sejati.
Semua itu melelahkan jasad kita, tapi mencahayai ruhnya; memayahkan badan kita, tapi menyucikan jiwanya; memenatkan tubuh kita, tapi menghidupkan hatinya. Sebab kita tahu, segala adalah milikNya dan kembali padaNya.
{Tersebab “ma’allah”, sederhanalah segala masalah.}
Karena Dia tak pernah menguji hamba melebih batas kesanggupannya, kita tahu yang diuji bukanlah kemampuan diri, melainkan kemauan untuk memaknai.
Melibatkan Allah di tiap kejadian berarti menjadikan semua hal sebagai jalan untuk bersama denganNya. Dalam kesulitan, kian kita merasa lemah di hadapanNya Yang Maha Kuat, maka Dia yang akan menguatkan kita. Kian kita merasa hina di hadapanNya Yang Maha Luhur, maka Dia yang akan mengangkat derajat kita. Kian kita merasa faqir di hadapanNya Yang Maha Kaya, maka Dia yang akan mencukupi kita.
Di tiap masalah, kita tak hanya harus melihat “apa yang terjadi”, melainkan memperhatikan “Siapa yang Menetapkan dan Mengaturnya”, sehingga kita mampu memaknai “mengapa” dan bersikap “bagaimana” yang mendatangkan ridhaNya.
{Tersebab “ilallah”, ringanlah setiap langkah.}
Tugas kita dalam hidup adalah mengemudi hati di jalan lurus menujuNya, karena itulah kita berulangkali mohon ditunjukkan jalan itu di tiap raka’at kita, “Ihdinash shirathal mustaqim.”
Jalan itu, seperti diukir menyejarah oleh Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa, hingga Muhammad dan semua yang beserta mereka dari para Nabi, Shiddiqin, Syuhada’, dan Shalihin, ternyata bukan jalan yang mulus. Tikungannya tajam, tanjakannya terjal, turunannya curam, sandungannya mengoyak, onaknya runcing, durinya menusuk.
Tapi selama tujuannya Allah dan hati dimantapkan menatap ke satu arah itu, satu ayun langkah serasa terbang ke langit ketujuh. Semua hamba pasti akan kembali pada Allah setelah matinya. Maka berbahagialah yang telah menuju padaNya, di sepanjang hidupnya.