Uhud adalah harimu, duhai yang rela tubuhnya dirajah luka.
Karena kau tak rela seujung rambut ataupun seserpih kulit Nabi ﷺ tercinta disentuh lagi senjata durjana.
Maka dengan tubuh kelelahan dan darah menetes-menetes, kaurentang jasad memperisai kekasih Allah.
Uhud adalah harimu, duhai yang 70 sabetan pedang, tusukan panah, dan hunjaman tombak menorehkan kesaksian.
Sementara bibirmu bergetar menggumamkan suara hati, “Ya Rabbi, khudz bidaamii hadzal yaum, hatta tardhaa.”
“Duhai Penciptaku, Penguasaku, Pemeliharaku, Penjamin Rizqiku, Pengatur segala urusanku”, katamu, “Ambil darahku hari ini hingga Kau ridha padaku.”
Uhud adalah harimu, duhai yang selamanya kehilangan dua jari dan tempurung lutut.
Yang memerah seluruh gamis putihmu namun kau tegakkan badan untuk berjalan anggun di hadapan angkara.
Lalu ucapan Sang Nabi ﷺ membuatmu menangis, “Jika kalian ingin melihat seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi, tataplah lelaki ini.”
Uhud adalah harimu, duhai yang merasa belum cukup dengan semua itu.
Ketika Rasulullah ﷺ diangkat ke tempat perlindungan melalui sebuah batu, berulangkali beliau terpeleset dan melorot.
Maka tubuh bersimbah peluhmu yang mengental merah hitam itu kausorongkan, mengelemprak jadi tumpuan.
“Ya Rasulallah”, lirihmu, “Naiklah dengan memijak badanku ini.”
Maka airmata menggenang di pipi beliau ﷺ, dan lisannya yang mulia bersabda, “Awjaba Thalhah… Awjaba Thalhah… Thalhah wajib masuk surga… Thalhah wajib masuk surga…”
Uhud adalah harimu, duhai satu dari sepuluh, yang dikabarkan bahwa surga telah terlonjak-lonjak merindukan, padahal bumi masih menahan agar kalian ukirkan lebih banyak lagi kepahlawanan