KAWA DAUN

Saukua mako manjadi,
Sasuai mako takanak.
Jo kok pandai bamain budi,
Urang jauah jadi dunsanak.

Dari daun kopi yang diasap lalu diseduh, kopi kawa daun adalah pengerat keakraban yang berasa manis sepat dengan harum kopi yang tak terlalu pekat. Tersaji di atas tempurung yang disangga bambu, warnanya kelam. Mungkin untuk mengingatkan akan asal-usulnya yang suram.

Adalah Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch, sang pencetus tanam paksa yang jaya di Jawa, merambah Minang pula setelah usainya Perang Padri. Di tahun 1840 stelsel yang kejam itu dimulai dengan tanaman kopi. Harga tingginya di Eropa begitu menggoda syahwat rakus penjajah.

Bersebab harganya yang selangit, semua biji hasil petik harus diserahkan ke Gudang (Koffiepakhuis) tanpa tercecer sebutirpun. Para pakuih kopi, sebutan untuk para pengurus gudang harus memastikan tak ada penanam yang berkesempatan mencicip olahan biji mewah ini.

Tak ada rotan akarpun jadi, tak ada biji daunpun berarti. Orang Minang mengatakan, “Tak kayu janjang dikapiang, tak ameh bungka diasah”.

Tahu aroma harum juga muncul dari daunnya ketika dikoyak, keinginan menikmati kopi mereka wujudkan dengan mengasapi daun itu hingga berbunyi gemerisik lalu menyeduhnya di dalam tabung bambu. Gula saka ditambahkan sebagai pemanisnya. Tradisi minumnya berlanjut meski tahun 1908 larangan menikmati kopi bagi warga pribumi dihapus. Goreng-gorengan berupa pisang, tapai, tahu, hingga tempe menjadi pendampingnya.

Menikmati Kopi Kawa Daun di Tanah Datar adalah mengenang pahitnya penjajahan tapi juga merayakan kreativitas leluhur. Mari bangkit Indonesia, negeri yang telah diuji dengan berbagai guncangan zaman.

Jarajak pamaga rumah,
Panjago anak jan jatuah.
Dikucak jiko indak guyah,
Tandonyo iman nan alah taguah.


Posted

in

by

Tags: