Saya mengenang kejadian 4 tahun lalu, ketika sebakda Shubuh dalam sebuah Masjid di Kota Gaza, saya duduk bersama wajah-wajah asing namun berhati akrab. Satu persatu dibimbing seorang Syaikh bergelar Doktor Ilmu Quran lulusan Damaskus kami bertilawah.
Berbincang hangat seusainya, saya kian faham bahwa Al Qur’an adalah ruh perjuangan mereka, bertahun-tahun bertahan dalam kepungan. Ada halaqah Quran di semua Masjid; Shubuh untuk kaum pria, bakda ‘Ashr untuk kaum Ibu dan anak perempuan, bakda Maghrib untuk anak-anak lelaki. Sudut-sudut setoran tilawah ada di Klinik, Apotik, hingga pojok Pusat Perbelanjaan.
Empatpuluhribu Huffazh melayani 1600 lokasi penumbuhan cinta kepada Al Qur’an; tahsinnya, hafalannya, tafsirnya, dan tadabburnya.
“Ya Akhi, ambillah pelajaran dari kami”, ujar seorang pemuda Gaza kepada saya. “Kami dahulu meninggalkan Al Qur’an, maka Allahpun tak mempedulikan kami, membiarkan kami hina di kaki para penjajah itu, terpuruk ternista. Ada yang mencari kemuliaan dengan harta, jabatan, maupun senjata. Tapi semua kian menambah nestapa.”
“Hingga Allah mengaruniakan kepada kami nikmat yang sangat besar. Seorang tua yang
lumpuh tubuhnya tapi jernih hatinya, mengajak kami ke masjid, membaca Al Qur’an, memperbaiki tajwid, mengkaji tafsirnya dan mengkaji sirah Rasulillah. Maka kalian lihat orang yang hari itu diketawakan oleh para penenteng senjata tapi tanpa Al Qur’an, hari ini kami bisa berdiri tegak, tersenyum manis, melangkah tegap, semua karena kami kembali bermesra dengan Kalamullah.“
Apakah kita telah mengambil pelajaran dari Gaza? Insyaallah beberapa langkah lagi. Saya suka ungkapan cantik cendikiawan mudw Minang, Uda Akmal Sjafril, tentang kecintaan ummat pada Quran dalam Jumat Akbar Persatuan Ummat kemarin.
“Tuan janganlah heran jika umat ini mencintai Qur’an lebih daripada mencintai hidupnya sendiri”, tulisnya. “Sebab kami hina dan hidup gelap gulita kalau bukan karena Qur’an.”
“Tuan jangan pula heran mengapa bangsa ini mencintai Qur’an, sebab Qur’an-lah yang mengajari kami akan harkat dan martabat kami sebagai manusia, Qur’an pula yang mengajari kami untuk mencintai perdamaian dan mencintai kemerdekaan lebih dari apa pun.”
“Tuan”, pungkasnya, “Jika bukan karena rakyat yang hatinya bersemayam Al Quran, maka nisacya masih ada warna biru di bendera negeri ini.”
Mari meretas jalan kejayaan. Kecintaan pada Qur’an harus berlanjut menjadi bertaburnya halaqah tahfizh, pengajian tafsir, forum-forum tadabbur, dan perlombaan surgawi untuk mengamalkan Firman Allah sehari-hari.