Para pencinta selalu memiliki panggilan mesra pada yang disayanginya. Demikian pula Rasulullah ﷺ pada bilah-bilah logam yang menemaninya dalam perjuangan.
Ada Al Ma’tsur yang beliau warisi dari Ayahandanya. Ada Al Battar yang didapat dari Bani Qainuqa’ dan merupakan warisan para Nabi; Musa, Harun, Yusya’, Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan ‘Isa. Ada Dzul Faqar yang beliau wariskan pada Sayyidina ‘Ali. Ada Hatf yang konon diambil alih Dawud dari Jaluth lalu beliau tempa ulang. Ada Al Mikhdzam yang diwarisi Ahlul Bait hingga diinkripsi dengan nama Zainal ‘Abidin. Ada Qal’i yang konon ditemukan kakek beliau ketika menggali ulang Zam-zam. Ada Al ‘Adhb yang beliau pakai di Badr dan dipinjamkan pada Abu Dujanah dalam Perang Uhud. Ada Al Qadhib. Ada Ar Rasub.
Selain Al ‘Adhb dan Qal’i yang tersimpan di Masjid Husain Kairo, hampir semua pedang ini ada di Museum Istana Topkapi, pusat pemerintahan Turki ‘Utsmani selama hampir 4 abad sebelum dipindah ke Besiktas dan Dolmabahce.
Dari sini kita tahu, termasuk sunnah Nabi ﷺ memiliki senjata, menyayanginya, dan memberinya nama. Dalam Bahasa Jawa, Alif Lam Ma’rifah “Al” atau penanda kepemilikan sifat “Dzu” diterjemahkan sebagai “Ki” atau “Kyahi”.
Sebagaimana keris yang berkinatah dengan makna tertentu terukir di dalamnya, pada bilah pedang dalam latar budaya lain sering ditemukan inkripsi pesan yang lebih lugas. Mendapati anugerah hadirnya pedang ini, kami sedikit bingung dengan tulisan di pangkal bilahnya. Aksara apakah?
Seorang kawan yang belajar filologi menduga hurufnya adalah abjad Nabatean, suatu peradaban peralihan bangsa Timur Tengah dari Aramaic ke Arabic dan Hebrew yang peninggalannya kini dikenal di Petra, Yordania. Pembacaan beliau yang katanya belum sempurna menghasilkan makna “Asy Syuhada’” dan “La Syarika Lillah”.
Benarkah demikian? “Orang-orang yang bersaksi” dan “Tiada sekutu bagi Allah”? Ah menarik sekali. Jika ada para cendekia yang lebih memahami, sudilah kiranya bermurah hati berbagi pemahaman.
Yang juga menarik dari pedang ini adalah besinya hurap, dengan kilau bintik-bintik kekuningan jika disinari dalam gelap. Pamornya digarap apik bolak-balik. Separuh bilah penuh pola “Ganggeng Kanyut” dan separuh lainnya keleng dengan dibatasi 3 pamor adeg ngawat yang rapi. Di bawah dekat pegangan, pamor memusar yang mirip sidik ibu jari juga terlihat. Kol buntet kah?
Ah, persoalan lagi, garap bilah dan pamor seperti ini dari Nusantara ataukah dari Timur Tengah? Kita mengenali pamornya dengan istilah Nusantara, tapi nun di sana, membentang dari India hingga tepi Eropa sejak sebelum Masehi konon pola pamor seperti inipun dikenal.
‘Alaa kulli haal, alhamdulillah.