“Keberanian sejati mengenal rasa takut. Dia tahu bagaimana takut kepada apa yang harus ditakuti. Orang-orang yang tulus menghargai hidup dengan penuh kecintaan. Mereka mendekapnya sebagai permata yang sangat berharga. Maka mereka memilih waktu serta tempat yang paling tepat untuk menyerahkannya. Untuk mati dengan penuh kemuliaan.”
(Eiji Yoshikawa, ‘Musashi’)
“Methuk” berasal dari kata “pethuk” yang dalam Bahasa Jawa bermakna jumpa atau bertemu. Dalam bentuk aktif “methuk”, ia juga bermakna menjemput. “Methuk” adalah istilah untuk bagian melingkar yang mempertemukan antara bilah tombak dengan pesi yang tertutup landheyan atau tangkainya. Maka ‘methuk’ ini mempertemukan mata tombak dengan lahir-batin dari bagian di bawahnya.
Mengutip Kangmas M.M. Hidayat, sebuah pertemuan harus menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Berjumpa dengan keluarga, kerabat, handai taulan, mitra, dan sahabat seyogyanya menguatkan cinta, mengeratkan keakraban, mengokohkan persaudaraan, menambah jejaring, dan meluaskan pergaulan. Bahkan jika ia dilakukan dengan niat menyambung tali rahim yang terputus, berkahnya adalah panjang umur dan rizqi yang lapang.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa suka diluaskan rizqinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia sambung silaturrahim.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Kembali pada soal tombak, tata tempur tombak ala Jawa biasanya dengam gerakan “gebuk-suduk”. Prajurit infanteri Jawa dengan tombak bergagang panjang biasanya menyerang dengan memukulkan tombaknya ke kepala kuda lawannya. Ketika kuda itu meringkik mengangkat kaki karena terkejut, maka perwira Belanda yang menunggangnya akan berusaha menenangkannya dengan mengendali kekang. Pada saat itulah, posisi dada kirinya terbuka, dan tombak Jawapun menusuk tepat pada jantungnya. Terkutip dari catatan F. Ridder De Stuers, asisten sekaligus menantu Jenderal De Kock, pola serangan ini sangat ditakuti para perwira Belanda.
Dengan tombaklah para prajurit Jawa menjemput keharuman nama ataupun kematian mulia. Methuk. Karena ajal paling indah dijemput dengan amal suci perang Sabil. “Ngantepi islamnya samya, nglampahi parentah dalil, ing Quran pan ayat Katal”, kata Kyai Mojo kepada Kolonel Cleerens dalam Babad Dipanegara. “Bersama memantapkan Islamnya, melaksanakan perintah dalil, dalam Quran Surat At Taubah.”
Akhirnya, methuk adalah dzikrul maut. Sebab jikapun tak dijemput, ia yang akan menjemput.
“Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapati kalian, kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78)
Maka methuk juga isyarat untuk teguh istiqamah berbakti dan beribadah kepada Gusti Allah, hingga al yaqin, kematian menjemput.
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin, yakni maut.” (QS. Al-Hijr: 99)
__________
Methuk-methuk tombak berkinatah dan yang masih tampak bekasnya. Tangguh dari kiri; HB V pamor adeg wengkon, Pajang pamor udan mas, Mataram Sultan Agung pamor wos wutah.