“Bersatu kita kompak..
..Bicara kita ngapak..”
Dalam pagelaran wayang khas gagrak Banyumasan, ada Bawor. Tokoh ini sekilas mirip Bagong dalam Pakeliran Yogyakarta dan Surakarta, tapi juga mendekati karakter Cepot dalam Wayang Golek Sunda.
Watak Bawor tampak lugu, jujur, dan ‘mbodho’. Dia cerdas, namun jangan sampai tampak pandai. Jadi kecendikiaan Bawor dikemas dalam gaya ‘semblothongan’ atau ‘dablongan’. Dengan akal-akalan yang sering mengkonyolkan dirinya sendiri, dia menyelamatkan tuan dan sahabat-sahabatnya dari ‘gara-gara’.
Satu lagi. Sebagaimana umumnya orang Banyumas, Bawor bicara ngapak, satu dialek unik Bahasa Jawa yang konon justru asli, hanya mengenal bunyi “A” sebagai “A”, tidak seperti Bahasa Jawa Baru Mataraman ala Sultan Agung yang karena pengaruh Bahasa Arab didominasi bunyi antara “A” dan “O”.
Ngapak adalah lambang sifat tulus, setia, cablaka (polos serta lugas), cacutan (cekatan), kadang konyol namun amat dapat diandalkan.
Barangkali itu yang dilihat Sultan Hamengkubuwana I pada sosok Bupati Banyumas, Raden Tumenggung Yudanegara III, hingga beliau memaksa Gubernur Nord-Oost Kust, Nicolaas Hartingh menyetujuinya untuk menjadi Patih Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Raden Adipati Danureja I meski sebagian besar wilayah Banyumas adalah hak Kasunanan Surakarta sesuai perjanjian Giyanti.
“Wilayahnya untuk Ananda Sunan Pakubuwana III, tapi Adipatinya untuk saya”, tegas beliau.
Pada tahun 1751, dalam pertempuran antara Pangeran Mangkubumi melawan VOC di Tidar, wilayah Kedu, hampir saja Pasukan Banyumas yang dipimpin Yudanegara III dan membantu VOC sesuai perintah Surakarta menangkap mujahid gigih itu. Tumenggung Arungbinang, sosok sesepuh para panglima Mataram muncul untuk mencegah hal ini dan malah menasehati Yudanegara III agar bergabung dalam barisan Mangkubumi.
Kelak Yudanegara III menjadi Pepatih Dalem dan membuktikan kecakapannya menerjemahkan kebijakan Sang Sultan Mangkubumi untuk terus melakukan ‘perlawanan terselubung’ pada VOC. Masa pemerintahan dwitunggal ini di Keraton Yogyakarta ditandai dengan kemajuan dalam berbagai bidang hingga Mangkubumi akan dikenal sebagai Raja terbesar wangsa Mataram setelah moyangnya, Sultan Agung.
Sejak 1756, kedudukan Bupati Banyumas di bawah Kasunanan Surakarta lalu diwariskan pada sang putra, Raden Tumenggung Yudanegara IV. Menjelang akhir pemerintahannya, Sunan Pakubuwana III sempat murka sebab Sang Adipati justru menjadi Duta Sultan Mangkubumi untuk mengunjungi Banten melalui Priangan. Saat itu Banten tinggal simbol, tapi Kasultanan Yogyakarta tetap memberi kunjungan kehormatan pada dinasti keturunan Sunan Gunungjati itu.
Orang ngapak akan selalu menjadi mitra tepercaya para pejuang. Ini terbukti dari zaman Perang Dipanegara hingga Perang Kemerdekaan. Tumenggung Banyakwide, moyang Prabowo Subianto dalam Perang Jawa, Jenderal Sudirman, Panglima sakit-sakitan namun amat tangguh itu, hingga Jenderal Gatot Soebroto, juga datang dari kawasan logat ngapak.
Mendapati video pendek tentang teguran seorang Kyai kepada beberapa anak muda yang pada jam 23.00 sudah mulai membangunkan sahur, yang katanya makin awal sahurnya juga makin cepat berbukanya hahaha; kengapakan saya yang dulu akibat pergaulan sesama santri kala mondok di Plaosan, kambuh.
Yaqin nyong lhah, ora ngapak, mancene ora kepenak.. Bocah lengob.??
https://www.facebook.com/salim.a.fillah/videos/1689586804467765/