Karena kata “salaf”, “salafi”, dan “salafiyah” adalah sebuah kehormatan bagi setiap yang berada di atas jalan yang ditempuh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, ada syair yang sering dikutip tentang pendakuan dan kenyataan.
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ
“Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila..
Sedang Laila tak merasa kenal satupun dari mereka..”
Siapakah salafi?
Saya dididik di Pondok Pesantren salaf, dalam makna asrama pendidikan yang tak memiliki lembaga resmi berjenjang-jenjang, yang alumninya takkan mendapat ijazah atau lembar kertas apapun yang menunjukkan dia pernah belajar apa, kapan, dan di mana. Kami mengaji sorogan dan bandungan, bermadrasah dan berkhithabah, membaca Maulidusy Syarifil Anam serta mengamalkan Ta’limul Muta’allim; semua mengalir sebagaimana kami memasak dan makan, lalu tidur di lantai berbantal persediaan beras yang membuat tak nyenyak ketika menipis di akhir bulan.
Ini pondok yang kami para santrinya bangga menempelkan stiker di kamar bertuliskan semboyan salaf ala kami itu. Bunyinya, “Lastu kahaiatikum.. Aku tidak seperti pertingkah kalian.”
Maka alangkah kagetnya saya ketika di tahap umur berikutnya berjumpa sesama muslim yang menisbat diri sebagai “salafi”, dan di matanya segala yang kami lakukan dulu keliru adanya. Ah, barangkali saya perlu duduk bersama mereka lebih lama, mengkaji bagaimana mereka mengaji, dan menemukan sesuatu yang berguna.
Dan sekian lama bersama, kesimpulannya adalah kami bersaudara. Dan siapa bilang saudara harus sama tanpa beda?
Saya pula berjumpa, dengan harakah yang bergerak dalam manhaj yang digariskan seorang besar bernama Hasan Al Banna, menjunjung syiar mereka sebagai Da’wah Salafiyah dan Thariqah Sunniyah.
Dan sekian lama bersama, kesimpulannya memang kami keluarga. Dan siapa bilang sekeluarga harus seragam tanpa ciri khas?
Saya menemukan kesalafian di dalam laku-laku hidup para mahaguru di berbagai penjuru. Kyai Zainal Abidin Munawwir Krapyak adalah sesalafi-salafinya salafi karena pada taraf paling hati-hatinya tak mau melewati gereja, tak suka memandang tiang listrik yang mirip salib, meminta agar pohon cemara yang identik sebagai simbol natal ditebang, tak sepeserpun mau menerima sumbangan pejabat, dan ketegasannya soal syubhat digambarkan Kakanda Iparnya, KH Ali Maksum sebagai “Cagaknya Langit.”
Daftar yang seperti beliau di Nahdlatul Ulama, dengan berbagai varian tampilan lahiriah namun dalam etos yang sama, mungkin takkan habis saya tulis hingga umur saya berakhir. Etos salafi.
Saya juga melihat sesalafi salafinya salafi itu adalah KH AR Fakhruddin; yang lebih dari 2 dasawarsa memimpin Muhammadiyyah tapi tak pernah punya rumah, yang menafkahi keluarganya dari berjualan bensin, yang sepeda motor bututnya legendaris, yabg berulangkali menolak menjadi Menteri, yang menerima uang bermilyar-milyar tapi semua untuk persyarikatan dan digelari “Talang Ora Teles”, alias saluran air yang tak pernah basah.
Daftar yang seperti beliau di Muhammadiyyah, dengan berbagai varian tampilan lahiriah namun dalam etos yang sama, mungkin takkan habis saya tulis hingga umur saya berakhir. Etos salafi.
Saya juga melihat KH Rahmat Abdullah sebagai sesalafi-salafinya salafi dalam budaya belajarnya, ketekunan pengkajiannya, keteguhannya membina anak muda, penjagaan ashalah dakwahnya, kekuatan ruhiyah, dan kezuhudannya pada dunia.
Etos salafi sejati yang dihidupkan dalam akhlaq imani, bukan klaim disertai kerasnya hati, yang akan mempesona bagi semua nurani, menyatukan ummat dalam barisan hakiki.
______________
Tempo hari bersama Allaahu yahfazhuh KH. Ahmad Fauzi Mohammad Tijani, Pengasuh Pesantren Al Amien, Prenduan, Sumenep. Pesantren dengan 7000-an santri yang disebut ‘modern’, tapi terpancar etos salafi dari para Masyaikh hingga santri-santrinya.