Termaktub sebuah riwayat dalam Kitab Al Adzkiyaa’ karya Al Imam Abul Faraj Ibnul Jauzy (508-597), Mufti Agung Madzhab Hanbali di masa Daulah ‘Abbasiyah, bahwa Iblis pernah datang menemui Nabiyyullah ‘Isa ‘Alaihissalam.
Berkatalah sang terlaknat, “Hai ‘Isa! Bukankah engkau yakin, bahwa segala yang tak ditakdirkan oleh Allah, tidak akan menimpamu?”
“Ya,” jawab Al Masih ‘Alaihissalam.
“Kalau begitu, coba engkau terjun dari atas gunung ini. Kalau Allah menakdirkan selamat, ya pasti engkau akan selamat.”
Dengan tenang, putra Maryam ‘Alaihissalam menjawab, “Hai makhluq terrajam! Sesungguhnya Allah berhak menguji para hambaNya. Tapi seorang hamba tidak punya hak sama sekali untuk menguji Allah!”
Yakni menguji; apakah Dia menakdirkan begitu atau begini.
Segala puji bagi Allah yang merahasiakan ketetapanNya dari kita; agar kita mencitakan yang terbaik, mengharapkan yang terbaik, meniatkan yang terbaik, merencanakan yang terbaik, mengamalkan dengan sebaik-baiknya, dan bertawakkal sebaik-baiknya.
Maka makna bahwa Dia di sisi prasangka hambaNya adalah, “Barangsiapa merasa dirinya berdosa dan yakin bahwa Allah Maha Pengampun, niscaya Allah mengampuninya. Barangsiapa merasa bahwa dirinya hina dan yakin bahwa Allah Maha Mulia, niscaya Allah meluhurkannya. Barangsiapa merasa bahwa dirinya bodoh dan yakin bahwa Allah Maha Tahu, niscaya Allah memberinya ilmu. Barangsiapa merasa bahwa dirinya lemah dan yakin bahwa Allah Maha Kuat, niscaya Allah menguatkannya. Barangsiapa merasa dirinya faqir dan yakin bahwa Allah Maha Kaya, niscaya Allah mencukupinya.”