“Sebuah harapan, sekecil apapun, jika dibandingkan dengan keputusasaan, adalah kemungkinan tanpa batas.”
(Silver, dalam ‘L.O.R.D: Legend of Ravaging Dynasties’)
“Al Quran”, demikian Syaikh Muhammad Al Ghazali, “Adalah Kitab tentang kegagalan & harapan. Ia hargai setiap perjuangan insan, bukan hasilnya; ia larang mereka berputusasa dari kasih sayang Penciptanya. Maka siapapun, dalam keadaan apapun, akan menemukan semangat baru untuk bangkit jika membacanya.”
Kegagalan apa yang lebih besar dari melanggar larangan Allah hingga dikeluarkan dari surga? Tapi Adam & Hawa dengan doa sesalnya telah memberi harapan pada anak cucu mereka; kesempatan masih dianugrahkan selama hayat dikandung badan.
Kekhilafan apa yang lebih ngeri dari membunuh? Tapi Musa, pelarian, & jalan pengabdiannya di Madyan telah menyalakan binar di mata manusia yang hendak menempuh jalan juang bahwa Allah selalu berlimpah memfasilitasi tekad suci.
Keberpalingan apa yang lebih bodoh daripada meninggalkan tugas dariNya dengan hati murka? Tapi Yunus di dalam perut ikan di dasar samudera telah menerbitkan ilham bagi siapapun, bahwa di puncak rasa tak berdaya itulah akan datang pertolonganNya yang Maha Jaya.
Dan seindah-indah harapan pernah diucapkan Muhammad ﷺ di tengah tawaran sedahsyat-dahsyat kekuatan. Saat itu, di Qarnul Manazil, setelah 3 hari dakwah di Thaif yang menguras jiwa & raganya, berbuah usiran & sambitan.
“Wahai Rasulallah,” ucap malaikat penjaga gunung, “Perintahkanlah, maka akan kubalikkan gunung Akhsyabain ini agar membinasakan mereka yang telah mendustakan, menista, & mengusirmu.”
“Tidak,” jawab beliau ﷺ, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Aku berharap agar dari sulbi dan rahim mereka, Allah keluarkan anak keturunan yang mengesakanNya & tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”
Bersebab hati yang ditanami harapan semacam ini, orang yang pernah berniat membunuhnya kini berbaring mesra di sampingnya, dan dari penista Quran Walid ibn Al Mughirah, lahirlah pedang Allah.