SOMBONG

“Apa yang hendak disombongkan manusia?”, ujar seorang ‘Arab dusun pada Yahya ibn Al Mihlab, sang maha-menteri yang bermegah-mewah.

“Kamu tak kenal siapa aku?”

“Kenal”, sahut si Badui. “Dulu kamu setetes air hina, yang dihinggapi lalat jika tercecer bekasnya. Kelak kau akan jadi bangkai, menggelembung, berbelatung, dan busuk anyir baunya. Dan kini seonggok daging, hilir mudik ke sana kemari membawa-bawa kotoran di dalam perutnya.”

Duhai yang mengenal dirinya, tidakkah menusuk hakikat diri ala si ‘Arabi ini?

Jadi apa yang membuatnya merasa besar dan bangga diri? Tidak, pasti bukan karena kelebihan dan keutamaan yang dianugerahkan. Sebab kalau itu, pasti Sulaiman ‘Alaihissalam lebih mabuk kuasa dibanding Fir’aun dan lebih mabuk harta daripada Qarun.

Apalah arti Mesir, aliran Nil, dan Bani Israil yang diperbudak dibanding bahasa serta kuasa atas angin, jin, segala fauna, burung, dan manusia? Apalah arti kunci-kunci gudang harta yang memberati para perkasa, dibanding singgasana yang sekejap berpindah dan istana yang sekejap terada?

Tidak, kesombongan wujud bukan karena kelebihan yang ada; tapi kerdilnya jiwa dan sempitnya wawasan. Maka selalulah kesadaran Sulaiman kita jaga dengan hati runduk, “Hadza min fadhli Rabbi… Ini semua anugerah Rabbku, untuk mengujiku apakah syukur atau kufurkah aku.”

Sombong karena iman, imannya jadi tak sudi. Sombong karena ilmu, ilmunya beringsut menjauh. Sombong karena kedudukan, cinta orang lari tunggang langgang.

Sombong karena pakaian? Jiwa jadi lebih murah dari harga baju. Sombong karena hunian? Hati jadi lebih murah dari harga rumah. Sombong karena kendaraan? Ruh jadi lebih murah dari harga mur-baut. Duhai semua isi dunia cuma titipan. Tapi motor yang saya pakai ini bahkan bukan titipan, melainkan hanya cicipan; pinjam untuk foto-fotoan.

Jadi apa yang mau disombongkan? ?
______________


Posted

in

,

by