Seindah apapun dunia, biarlah ia tetap menjadi latar belakang semata. Biarlah pandangan kita menatap jauh ke tujuan kita, hingga “seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tak mampu melihatNya, yakinlah bahwa Allah selalu melihatmu.”
Seindah apapun dunia, ia hanya lukisan yang takkan sanggup menggambarkan sunyata surga, yang “tiada mata pernah menyaksikan keelokannya, tiada telinga pernah menyimak tutur kejelitaannya, tiada angan sanggup membayangkan pesonanya.”
Seindah apapun dunia, jadilah kita tetap orang asing baginya, sebab dari Allah kita berasal dan kepadaNya pula akan kembali. Asing, maka berhati-hati. Asing, maka tiada kawan sebaik Dia. Asing, maka kita perbanyak bekal dan sedikitkan beban.
Seindah apapun dunia, jadilah kita seperti penyeberang jalan, yang menengok ke kanan dan kiri sekedar agar selamat; yang menganggukkan sapa demi mencari sebanyak-banyak pembela dan mengurangi para penggugat. Sebab selepas penyeberangan sana yang ada adalah pengadilan.
“Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh.” (QS Ad Dukhaan: 25-29)