PRASAJA LEGAWA

Bagi penikmat 4 jilid seri ‘Mangan Ora Mangan Kumpul’ (2: Sugih Tanpa Bandha, 3: Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih, 4: Satria Piningit ing Kampung Pingit) karya Prof. Dr. Umar Kayam, tentu tidak asing dengam tokoh bernama Prof. Prasaja Legawa. Berikut saya berikan ilustrasi ala Pak Ageng:

“Lha mulai terdengar mendekat suara motor bebek tua beliau yang hangudubilah ‘lehendaris’-nya itu, ‘Ejlek enong ewer-ewer ejlek e gung.. Ejlek enong ewer-ewer ejlek e gung..’, lha ya bolehnya bikin seisi rumah kami gurawalan menyambut ke beranda. Tamu agung sudah tiba.

Setara dengan bunyi tleser-tleser dan pintunya yang kalau ditutup ‘mak beup’ BMW terbarunya Profesor Lemah Amba, we eh, tamu yang satu ini adalah penyeimbang dunia kami. Profesor Prasaja Legawa (atawa Legawa Prasaja, e lho, dibolak-balik kok ya sama bagusnya nama beliau itu), bersama Mbakyu yang di tangannya bergenteyongan plastik-plastik yang isinya dapatlah diduga semacam pecel ndesa yang pakai kecipir, krupuk karak, dan sambel wijen beserta segala uba rampenya. Inilah jamhur kelas dunia yang menginjak-injakkan kakinya menceramahi para Profesor Harvard hingga Oxford, tapi ‘menglaras’ hidup di dusun nan mblusuk di mBantul selayaknya Pandita sejati.”

Inilah nama dahsyat itu; Prasaja Legawa. Prasaja artinya sederhana, bersahaja. Sementara legawa bermakna ridha dan qana’ah. Konon begitu prinsip hidup ala Ngayukja, yang bahkan diterjemahkan ke dalam berbagai konsep seni budaya hingga pula soal warangka keris.

Adalah Pak Wusanto di Banyuraden, Gamping, seorang mranggi perajin warangka yang konon levelnya juga sudah ‘lehendaris’. Menatap beliau berkarya, saya teringat penggal sebuah hadits:

إن الله كتب الإحسان على كل شيءٍ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan ‘ihsan’ atas segala hal.” (HR Muslim)

Being simple is not simple. Membuat karya yang sederhana namun anggun seperti yang dilakukan Pak Wusanto ternyata memerlukan ihsan berupa kekokohan terhadap pakem, kerja keras yang tekun, dan rasa estetika yang terasah dalam deliberate practice berpuluh ribu jam.

Ah, prasaja. Sederhana. Sungguh ia memperindah semua. Karena sederhana yang berkuasa mulia. Yang jelata bermartabat. Yang kaya dicinta. Yang miskin terhormat Sederhana itulah; bukan kemegahan gemerlap; yang lebih mudah mengundang doa-doa yang tulus dan rahasia.. Dan juga cinta.

Sederhana memang membuat kita rendah; di mata para pihak yang mengukur kemuliaan dengan dunia. Tapi ia kehinaan semu; tak ada ruginya.

Sederhana dalam makan, meringankan badan. Sederhana soal pakaian, meringankan perjalanan. Sederhana dalam papan, meringankan perjuangan.

Sederhana dalam fikir; memudahkan tindakan. Sederhana dalam tutur; memudahkan hubungan. Sederhana dalam tampil; memudahkan kepemimpinan.

Sederhana dalam takut menjauhkan maksiat. Sederhana dalam harap menguatkan taat. Sederhana dalam cinta melezatkan ibadat.

Sederhana di keluarga mengeratkan ikatan;
sederhana dalam berteman mengurangi dengki; sederhana dalam bermasyarakat menegaskan hormat.
_________
Alhamdulillah di usia Pak Wusanto yang telah lanjut, beliau masih terus berkarya meski tentu tak segesit dulu. Persoalan lain adalah kayu bahan yang kian terbatas. Harapan kami untuk mendapat karya warangka branggah dari beliau masih belum tercapai. Untuk sementara, warangka gayaman kayu Cendana karya Pak Wusanto ini menemani hari untuk merenungi sikap prasaja dan legawa.


Posted

in

, ,

by