PASAR

Pagi ini, di Lok Baintan, di mana akad-akad jual beli terapung di Sungai Martapura yang jadi urat nadi penghidupan ribuan orang, tetiba saya teringat kisah tentang cenil.

Pernah makan cenil?

Itu makanan terbuat dari tepung kanji yang dimasak menjadi camilan kenyal seukuran ibu jari, dicomoti, dan tersaji warna-warni. Taburannya adalah kelapa parut yang dikukus bersama pandan wangi. Seperti lopis ketan yang memang sering ditawarkan bersamanya, kuah gula kental juga diguyurkan lengket-lengket di atasnya.

Nah, ini cerita tahun 1990-an ketika serombongan dosen dalam perjalanan melakukan penelitian di suatu pedesaan Yogyakarta.

Mereka berjumpa dengan seorang ibu tua penjual cenil keliling. Merasa agak sesat jalan, dengan gagah salah satu anggota rombongan turun dan bertanya tentang arah. Dengan ramah si ibu menjawab. Kala melihat dagangannya, tertariklah sang dosen bertanya, “Bu, jualan cenil begini sehari bisa dapat berapa?”

“Alhamdulillah Nak, kalau habis ya rata-rata bisa bawa pulang 50 ribu.” Di zaman itu, nilai ini kecil juga, tapi lumayan.

“Kami beli semua ya Bu. Ini uangnya 100 ribu.”

“E Allah, ya jangan semua to Nak. Ini saya masih keliling. Kasihan langganan lain yang siapa tahu menunggu-nunggu berharap saya lewat. Nanti kecewa, hehe… Nah sudah, dihitung saja, rombongannya ada berapa?”

“Ada 6 Bu. Tapi boleh ya kami beli banyak?”

“Lha rak tenan cuma enam. Lha kok mau beli banyak itu terus siapa nanti yang makan? Mubadzir malah dosa lho.”

“Kami kuat makan banyak kok Bu. Kayaknya cenilnya enak sekali.”

“E, ya ndak boleh berlebihan. Nanti kalau malah sakit perut bahkan diare bagaimana? Repot semua to? Sudah, ini saya bungkuskan 6 saja.”

“Ini uangnya njih Bu”, kata si dosen sambil tetap mengulurkan seratus ribuan.

“Lho, kalau 6 bungkus itu ya cuma 6 ribu. Saya ndak punya kembalian.”

“Lho Bu, ini kami ikhlas. Tolong seratus ribunya diterima.”

“Ya ndak bisa to Mas. Lha wong cenil kok seratus ribu hehe. Sudah kalau ndak punya uang kecil, dibawa saja cenilnya. Hadiah dari saya untuk Mas Guru-Mas Guru yang pinter-pinter, biar makin semangat mencerdaskan bangsa, seperti di tipi-tipi itu, hehe…”

“Kalau begitu, ibu ikut naik mobil kami ya, kami antar ke tempat jualannya.”

“Saya itu kalau naik mobil itu pusing dan mual je, hehe… Sudah monggo dilanjutkan perjalannya. Yang penting dunga-dinunga, saling mendoakan. Sugeng tindak.”

Duhai para jamhur sarjana, maka teori ekonomi manakah yang mampu menjelaskan perilaku dagang penjual cenil yang agung ini?


Posted

in

, ,

by