Sebesar apa nilai diri kita di sisi orang lain, sering tak seperti dugaan kita.
.
Diogenes, filsuf fakir yang suka sembarangan menggeletak rehat di tepi jalan itu suatu hari didatangi Rajadiraja yang kuasanya membentang dari pusat Eropa hingga pegunungan Himalaya, Alexander Agung.
.
.
“Aku Alexander, Sang Raja”, ujarnya memperkenalkan diri sambil membungkuk ke arah sang filsuf yang berbaring meringkuk. .
.
“Aku Diogenes”, sahutnya mengulurkan tangan untuk bersalaman sambil meringiskan senyum. “Si anjing.”
.
Betapa kasihan orang pandai ini, pikir Alexander. Seluruh hidupnya dihabiskan dalam kepapaan dan kehinaan. Sedang dia, Maharaja yang menggenggam dunia.
.
.
“Adakah yang bisa kulakukan untukmu sebagai Rajamu?”
.
.
“Tentu saja”, sahut Diogenes. “Minggirlah sedikit. Karena tubuhmu menghalangi kehangatan sinar mentari pagi yang diperlukan tubuhku.”
.
Konon, hari itu, kesombongan Alexander runtuh.
.
Seperti apakah nilai diri kita di sisi orang-orang yang kita cintai? Betapa bahagianya menjadi Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah, Mu’adz ibn Jabal, & Salim Maula Abi Hudzaifah sebab di kala ada yang mengangankan untuk memiliki harta sepenuh bumi lalu menginfakkannya, atau berjihad lalu syahid lalu dihidupkan lagi untuk berjihad lalu syahid dan hidup lagi terus berulangkali; adalah ‘Umar ibn Al Khaththab justru menginginkan andai 3 sahabat hebat itu hidup kembali & dia bisa berjuang fi sabilillah bersama mereka, tolong menolong dalam ketaatan.
.
.
“Jika padamu ada kawan baik yang membantu berketaatan”, kata Imam Asy Syafi’i, “Genggam eratlah dia di tangan. Sebab memperoleh sahabat sebenar amatlah sukar, adapun berpisah sangatlah mudah.”
.
Pada sahabat sejati itu kita katakan ungkapan Ibn Hayyan, “Kau dan aku ialah satu jiwa; hanyasaja sedang hinggap di jasad berbeda. Kau dan aku adalah ruh yang mesra; sebab Allah yang mengenalkannya.”