Satu kosakata indah yang saya dapatkan dari Mas @prie.gs dalam Ngaji Budaya di @pk_sejahtera kemarin adalah “Mentirakati Diri.”
.
Mas Prie mengisahkan bagaimana dia hendak membangunkan putra kesayangannya untuk shalat Shubuh. Sudah terlambat. Mentari muncul sudah. Hampir-hampir beliau murka dan menggebrak pintu kamar. Tapi lalu beliau tirakati dirinya. Hasilnya, tak ada gedoran. Hanya elusan-elusan lembut pada pintu disertai hati dan lisan yang komat-kamit berdoa.
.
Ya memang, sang putra tidak bangun-bangun. Sampai jam setengah sembilan.
.
Merekapun berpapasan di tangga. Si anak muda senyam-senyum. Sang ayah bertirakat lagi. Membalas senyum. Maka senyum ketemu senyum. Ternyata hasil tirakat ini dahsyat. Sang putra menyadari betapa besar perjuangan sang ayah membangunkannya. Sang putra merasakan tirakat ayahnya. Hari berikutnya, alarm biologis sang putra membangunkannya sebelum kokok ayam dan kumandang adzan. Lalu gantilah dia yang membangunkan sang ayah. Dengan kaki. “Huahahaha”, tawa Mas Prie menutup ceritanya.
.
Mentirakati diri juga akan melahirkan makna-makna baru dalam hubungan. Mas Prie melihat suatu hari istrinya memakai daster usang bolong-bolong berbau apak sedang mengulek sambal terasi, yakni sejenis makhluq yang menurut beliau tidak selaras antara rasa dan baunya. Wanita yang telah mendampinginya hampir 30 tahun bermandikan keringat, mencucurkan airmata, dan tidak keruan seluruh wujud rupa, bau, maupun rasanya. Maka Mas Prie pun menciumnya. Mesra, penuh penghayatan, panas, dan lama.
.
.
“Ihhh… Apa sih?”, tanya istrinya.
.
.
“Menciummu saat cantik dan wangi itu biasa. Tapi menciummu di saat seperti ini adalah JIHAD AKBAR!”
.
Ternyata, saya masih jauh kalah #mncrgknskl dibanding Sang Penggoda Indonesia.
MENTIRAKATI Diri yang #MNCRGKSNKL
by
Tags: