KECANTIKAN

Konon, cantik itu relatif. Ia nisbi.

Sebakda pesona yang telah diambil banyak bagiannya oleh Sarah dan Khadijah, oleh Yusuf dan Muhammad ﷺ, apakah yang masih tersisa? Seseorang terlihat cantik di mata kita, setelah andil jasmani yang jadi dasaran saja, terutama justru sebab tiada persoalan antara kita dan dia.

Itulah mengapa orang-orang yang jatuh dalam goda biasanya dimukadimahi masalah yang tak terurai di rumahtangganya. Lalu yang di luar tampak lebih kemilau, hanya karena debu menutup yang dimiliki. Bahkan, bagi seorang pangeran dari kerajaan adidaya, istrinya yang muda jelita kalah memikat dari seorang janda tua.

Cantik itu relatif. Rumput tetangga terlihat lebih hijau seringkali disebabkan terbuat dari plastik. Cantik sejati, berpangkal dari hati.

Betapapun jua, mata manusia tak bisa menafikan tarikan jasadi. Tapi lagi-lagi nisbi; warna kulit, bentuk rahang, kurva hidung, ketebalan alis, kelentikan bulu mata, juga skala berbagai sudut dan lekuk; masing-masing insan punya takrifnya.

Uniknya, sebagian yang dianggap cantik dan menarik dalam pandangan umum kadang justru bersumberkan ketaksempurnaan. Orang yang berlesung pipit, bergigi gingsul, berdagu belah, bertahi lalat di tempat tertentu; semua ‘cacat’ itu bisa jadi tambahan pancaran kerupawanan.

Konon, para bangsawan Mataram menggunakan falsafah itu untuk mengonsep arti keindahan bagi mereka. Alih-alih membuat benda seni dari bahan mewah lagi mahal seperti emas atau gading, mereka justru memilih kayu.

Kayu Timoho (Kleinhovia hospita) yang banyak dipilih sebagai bahan warangka keris ini juga cantik karena cacatnya. Luka-luka yang dialami pohonnya selama hidup lah yang menyebabkannya memiliki bercak tua yang membentuk aneka pola. Pola ini disebut pelet. Ada banyak jenis pelet; yang terkenal di antaranya kendhit, nyamel, ngingrim, tulak, dhoreng, ceplok, dan sembur.

Kayu Cendana, Trembalo, Kemuning, Jati Gembol, hingga Pakel Alas yang pula banyak dipakai biasanya juga dipilih dari pohon yang tumbuhnya penuh hambatan dari habitat hingga iklim. Keindahan berasal dari pohon-pohon yang bertahan hidupnya tak mudah. Pohon yang berjuang.

Pejuang itu pasti cantik.

Ada pula wewangian gaharu, yang pohonnya makin dilukai kian wangi dan kayunya pun berpola bagus. Dalam batik gagrak Yogyakarta, untuk unsur kukilanya yang mewakili “falyaqul khairan aw liyashmut”, berkatalah yang baik atau diam; dipilih merak, sebab ia mewakili falsafah menampakkan kecantikan paripurna bila diganggu. Kesemua ini persis sifat ‘Ibadurrahman dalam Surat Al Furqan.

Luka bisa menimbulkan kecantikan. Tapi kita berlindung pada Allah, agar cantik tak mengantar pada luka.

Tapi kecantikan bukan jaminan cepat datangnya pasangan atau langgengnya kebersamaan. Seperti #warangka kayu Timoho ini yang akhirnya dilabuhi sebilah #keris tinangguh HB VIII setelah perjalanan panjang hidupnya, bagai perahu menemukan nakhoda yang siap mengemudi, berlayar bersama menuju keridhaan Allah.


Posted

in

,

by