KAKAK-ADIK

Pangeran Ngabehi, buronan paling dicari itu, kedua putra, dan pengiring mereka baru berhasil dicegat oleh pasukan gabungan Hulptroepen Belanda di Pegunungan Kelir dua bulan setelah pengepungan Panjer, 21 September 1829.

Saat itu, dikepung oleh hampir 300 serdadu, keduapuluh prajurit pengawal mereka dilucuti dan dirangket dengan tali di bawah todongan senjata. Satu dua yang melawan langsung ditembak di kepala, dan muntahan peluru pun meremuk tengkorak serta memburaikan otak.

Ketika seorang komandan Hulptroepen, Kapitan Joost yang berdarah Ternate-Minahasa meminta Sang Pangeran anak beranak yang telah dipaksa turun dari kuda dan berlutut untuk menyerahkan keris-keris mereka, putra Sultan Hamengkubuwana II itu berkata dengan serak menahan pilu, “Kami ini adalah para Kanjeng Gusti!”

“Tidak ada Kanjeng Gusti di kalangan pemberontak! Kalian tidak punya hak!”, Joost berteriak sambil menembak. Pelurunya mengenai sebuah pohon yang rubuh berderak.

“Kalian para kafir murtad penjilat yang tidak punya hak untuk membatalkan apa yang sejak lahir telah melekat!”, Raden Mas Jayakusuma berseru sambil tetap menunduk. Tapi itu sudah cukup untuk membuat Joost murka. Diselipkannya kembali kedua pistolnya ke pinggang. Dia maju dan merenggut kerah surjan bangsawan muda itu, mengangkatnya hingga tercekik, lalu membantingnya ke tanah disusul sebuah tendangan sepatu lars yang telak mengenai wajah. Ketika korbannya terjengkang, Joost sekali lagi mengayunkan kaki ke arah muka, dan paras tampan berkulit terang itu diinjak dengan tekanan melingsak. Mata Jayakusuma serasa pecah, bibirnya seperti terbelah, dan hidungnya remuk berdarah.

“Aaahhhhkk…”

“Adhimas…”, desis Sang Kakak yang lalu mencabut kerisnya dan menyerbu ke arah Joost dengan murka. Tapi pistol flint-lock kedua Joost lebih cepat meletus, dan Raden Mas Adikusuma merasa seakan segaris di bawah dagunya diterjang seribu pedang api. Dengan pekik kesakitan, dia terlempar lalu jatuh rubuh. Matanya terbeliak dan darah dari nadi lehernya memancar-mancar.

“Ya Allah… Ya Allah… Gusti Allah…”, ayah kedua pemuda itu meraung, tapi beberapa kaki bersepatu lapis besi segera menekan punggungnya, dari berlutut ke posisi sujud. Hanya wajahnya diarahkan tetap menjura.

Pangeran Ngabehi masih harus melihat yang lebih memilukan lagi ketika Jayakusuma berusaha bangun menuju kakaknya, lalu serombongan serdadu yang berrebut mendapat jasa bergegas menyongsongnya dengan bayonet-bayonet berkarat. Sekitar tujuh luka tusuk mengenai dada, perut, dan pinggangnya. Jayakusuma masih tetap berdiri, darah mengalir deras dari lukanya, lalu dia terbatuk menyemburkan cairan kental merah serupa. “Laa… ilaa… ha illallaah…”, ucapannya terpatah-patah. “Muham… madur… Rasul… ullah…”, terduduk lemas, dia beringsut ke arah jasad sang kakak, berusaha menggapainya.

“Anakku… Anakku…”, Pangeran Ngabehi meremas tanah liat yang diraup dan dia cengkeram dengan kuku. Airmatanya tumpah bercampur peluh lengket di wajah. Netranya merah menahan duka murka. “Bunuh saja aku… Bunuh segera… Tolong… Ooo, anak-anakku…”

“Kamu akan dapat giliran orang tua”, sahut Kapitan Joost. “Tapi nanti. Setelah siksaan balasan untuk kejahatanmu kuanggap setimpal.”

“Dhuarrr…”, sebuah pistol ditembakkan tepat di belakang punggung Pangeran Ngabehi dan langsung menembus jantung. Pangeran berdarah campuran Jawa-Tionghoa itu mengakhiri hidup dengan menelungkup sujud.

“Kapten Prager? Sialannnnn!”, teriak Joost.

“Aku sedang malas melihat gaya sok aksimu, Joost.”

“Orang ini seharusnya kita buat mati pelan-pelan!”

“Nee! Voor nu, onze focus is om deze oorlog te beëindigen zo spoedig mogelijk. Persis seperti yang diperintahkan Jenderal De Kock dan Kolonel Cochius. Kita tak boleh berhenti, tidak boleh lalai dari misi pokok. Membunuh tiga penjahat perang ini secepatnya adalah langkah tepat. Dipanegara masih berkeliaran di barat sana. Dia sasaran utama kita.”

“In orde!”, timpal Joost ketus. “Tapi anak buahku berhak dapat penghargaan, kan?”

“Kepala lagi? Ah, kalian memang biadab!”

“Bukannya bangsa Eropa juga terbiasa menyula kepala korbannya?”

“Dulu, sebelum Kaisar Napoleon mengenalkan hukum perang.”

“Hah! Revolusi Perancis omong kosong itu rupanya ada juga hasilnya… Tapi di sini bukan Eropa, Kapten. Memancung kepala musuh dan mencucuknya di atas tombak masih sah menjadi kebanggaan ksatria pribumi. Dan ahli senjata sekaligus juru taktik hebat seperti Ngabehi yang berandil besar menewaskan ribuan tentara Kerajaan Belanda berhak atas kehormatan berada di ujung tombak Kapitan Joost, hahaha…”

“Kau yakin Sultan bocah itu akan gembira dan memberimu uang?”, tanya Prager sambil tersenyum sinis. “Bagaimanapun Ngabehi ini adalah adik dari kakeknya.”

“Godverdomme! Tapi persetan! Akan tetap kucoba, hahaha… Kepala tak terpakai ya tinggal dibuang saja, atau untuk main bola.”
_________________

Petikan calon novel “Sang Pangeran dan Janissary Terakhir”. Ilustrasi; dua keris kakak beradik bertangguh sesama HB V, dengan warangka branggah iras lamen Trembalo Jawa, mendhak jene satu lugas lainnya kendhit berlian kenanga, deder satu tayuman satunya kemuning werut.


Posted

in

,

by