“Konon”, catat Sean Covey dalam Epilog buku The 7 Habits of Highly Effective Teens yang dia tulis untuk melengkapi karya bapaknya, Stephen, “Menulis sebuah buku itu seperti menelan gajah.” Berat. Menyesak. Eneg. Mual. Merusak ritme tubuh. Menganggu harmoni hidup.
Maka kita membayangkan apa yang dirasakah H.J. De Graaf ketika menulis silsilah mahakaryanya tentang Jawa dari abad XVI hingga awal abad XVIII ini. Berdarah-darah memburu naskah tua, berdarah-darah menggelutinya bersama debu dan jejak serangga, berdarah-darah membaca dan mengenali maknanya, berdarah-darah menelaah lalu menyajikannya dalam tulisan cergas tentang zaman yang juga berdarah-darah.
Kini, kalau menelusur Jawa abad XVII tak afdhal jika kita tak merujuk De Graaf, sebagaimana kalau bicara tentang Abad XVIII kita harus menyeksamai karya-karya M.C. Ricklefs, dan di abad XIX wajib menyebut Peter B.R. Carey. Rata-rata ketiga nama ini meneliti subjeknya lebih dari 30 tahun sebelum menerbitkan karyanya. ‘Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792’ misalnya, dan tentu juga ‘The Power of The Prophecy: Prince Dipanegara and The End of An Old Order in Java: 1785-1855’.
Tidak. Saya tidak mengatakan kita wajib percaya pada telaah mereka. Mereka punya kacamata dan kerangka fikir yang tak selalu kita setujui. Tapi menyimak kerja keras macam itu, kita harusnya terlecut untuk berkarya melampaui mereka bertiga yang telah menjadi jurubicara Kesultanan Mataram untuk 3 Abadnya yang menyejarah.
Inilah acknowledgement itu; dalam karya apapun kita berdiri di atas bahu-bahu raksasa.
Saya kembali teringat Jamaluddin ibn Malik Al Andalusy, penulis Alfiyah yang masyhur itu. Lihatlah bagaimana dia memuji karya pendahulunya, Ibn Mu’thi, dan mendoakannya:
و هو بسبق حائز تفضيلا
مستوجب ثنائي الجميلا
Namun beliau menjadi amat utama kerana lebih dulu berkarya, sungguh terwajib beroleh pujianku yang jelita.
و الله يقضي بهبات وافرة
لي و له في درجات الآخرة
Semoga Allah tetapkan anugrah luas berlimpah, bagiku dan beliau di derajat-derajat akhirah.
Mari berkarya, menghargai para pendahulu kita, dan berjuang agar jangan ada hak orang terlanggar dengan jiplakan dan pendakuan. Ah, ini tidak ada seujung kuku, dari bagaimana para salaf kita berjuang mengumpulkan riwayat, menelaah sanad, memilah makna, dan menguraikan syarah.