Bekerja adalah ibadah. Di antara makna itu, kesyukuran adalah hikmah yang besar.
“Bekerjalah kalian hai keluarga Dawud, sebagai kesyukuran. Dan sedikit sekali di antara hambaKu yang pandai bersyukur.” (Q.S. Saba’: 13)
Munajat malam Nabiyullah Dawud ‘Alaihis Salam adalah sebaik-baik munajat; dia tidur separuh malam dan bangun pada setengahnya. Demikian pula shiyam beliau adalah sebaik-baik puasa. Beliau bershaum pada satu hari dan berbuka di hari berikutnya. Semua diselang-seling dalam ketaatannya pada Allah. Saat menunaikan, beliau menghadap Allah dengan dirinya yang utuh dan kehadiran hatinya yang genap. Saat berjeda, beliau membebaskan jiwa, menyungguhkan kerja, membaktikan diri kepada umat yang dipimpinnya.
Dalam memenuhi nafkah bagi diri dan keluarganya, Nabi Muhammad ﷺ juga memujinya. Adalah Dawud, Raja Bani Israil dengan kekuasaan yang amat besar, wilayah yang luas, dan mu’jizat yang agung, rela berpayah-payah menempa besi untuk dijadikan zirah baja. Dengan membuat baju perang inilah, dengan tubuh berpeluh dan tangan yang cekatan, Dawud menafkahi diri dan keluarganya. Dari hasilnya ia makan, berpakaian, dan mencukupi penghidupan.
Keseluruhan amal ini, dari munajat malam, puasa, hingga tangannya yang sibuk menempa; semua dia tunaikan dalam rangka mensyukuri Allah Yang Maha Pemurah. Amat sedikit hamba yang pandai bersyukur. Amat sedikit hamba yang seperti Dawud; raja yang tetap bekerja karena tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebentuk kesyukuran terindah.
Bekerja adalah ibadah. Dan di antara makna itu, bekerja berarti menyempurnakan pengharapan kepada Allah. Sebab, tidak bekerja sering menjadikan seorang penganggur berharap-harap kepada makhluk. Mereka yang berharap hanya kepada Allah, bersandar padaNya, serta mengandalkan Dia, mewujudkan asanya dengan cara bekerja.
Bekerja adalah mengukuhkan tawakal kita pada Allah sebagaimana orang yang meninggalkan unta di depan Masjid diperintahkan untuk mengikatnya terlebih dahulu. Bekerja adalah mengukuhkan kebersandaran dan pengandalan kita pada Allah, agar dapat menegakkan punggung dalam shalat dengan rizqi yang dikaruniakanNya. Agar dalam ibadah dan ketaatan di dunia yang sementara ini, kita tak berhutang, bersandar, dan mengandalkan sesama makhluq. Agar kita mandiri dalam pengabdian kepadaNya.
Bekerja adalah ibadah. Dan diantara makna itu, bekerja adalah menata niat untuk menjadi jalan rizqi bagi diri dan sebanyak mungkin orang lain. Sebab kita tahu bahwa setiap makhluk dijamin rizqinya, dan bahwa jalan rizqi tak selalu melalui rencana-rencana diri, bahkan banyak kejutannya. Maka, melalui bekerja itu kita ingin berjuang untuk menjadi saluran Allah kala melimpahkan anugerah bagi siapa pun yang dikehendakiNya. Sebab, dengan menjadi jalan rizqi bagi diri dan sesama, ada pahala yang amat berharga.
Hakikatnya memang, tak semua yang datang sebagai karunia Allah melalui apa yang kita kerjakan akan kita nikmati sendiri. Seandainyapun ia tersalur pada kegunaan yang paling tingginilainya menurut agama; akankah ada pahala bagi kerja kerasnya selama ini dalam mengupayakannya?
Betapa sia-sia tulang yang dibantingnya, keringat yang diperasnya, tubuh yang diringkihkannya, dan umur yang dihabiskannya dalam kerja, jika niat tak tertata sejak semula. Betapa indahnya sekiranya sejak dia mengayun langkah, mencencang pikir, dan menyingsingkan lengan; niat dalam hatinya telah bulat, “Ya Allah hamba niatkan diri, kerja ini menjadi jalan rizqi, untuk diri, keluarga, dan makhluk-makhluk-Mu yang memerlukannya kapan pun dan dimanapun jua.”
Dengan begitu, semoga kita berkesempatan menjadikan apa yang ada di tangan kita sebagai pahala agung dengan menitipkannya pada berbagai hak seperti sabda Rasulullah: “Ada empat dinar. Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau berikan untuk memerdekakan budak, satu dinar engkau infakkan fi sabilillah, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu. Dinar yang paling utama adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (H.R. Muslim)
Bekerja itu ibadah. Maka diantara maknanya adalah bahwa dalam payahnya ada rasa nikmat, dalam lelahnya ada rasa lezat. Sesuatu yang diperoleh dengan perjuangan, selalu punya nilai lebih bagi jiwa, jika dibandingkan dengan apa-apa yang datang sebagai pemberian tanpa usaha.
Sebab memang, sesuatu menjadi berharga karena nilainya yang langka. Sebab memang, dalam ketaatan kepada Allah berlaku sebuah kaidah. Bahwa nikmat itu hadir setelah payah, dan lezat itu terasa sebakda lelah.