ARSITEK

Kato Kiyomasa adalah sang muda yang menggila. Bergabung dengan Toyotomi Hideyoshi di usia 14 tahun, kisah keberaniannya terkenal dalam Perang Shizugatake 1583 dan Penaklukan Kyushu pada 1587. Dia sering digambarkan sebagai pemburu harimau yang trengginas dan terampil menggunakan tombak. Di usia 27 tahun, Hideyoshi mengangkatnya menjadi Daimyo di Kumamoto.

Kiyomasa merancang Kastil Kumamoto berdasarkan selera taktik perangnya, dan hasilnya adalah benteng yang paling tak tertembus musuh di Jepang. Jika kita ingat kisah “The Last Samurai”, pemberontakan Satsuma yang dipimpin Saigo Takamori, gagal merebut Kastil yang dipertahankan pasukan kekaisaran ini.

Kisah Kiyomasa berlanjut ke Korea. Menjadi pemimpin pasukan Sang Taiko untuk merebut negeri Joseon, dia merangsek cepat menaklukkan Seoul, Busan, dan mengepung Pyong-yang. Sayang, jalur logistiknya di laut dipotong oleh Laksamana Yi Sun Shin, pahlawan Korea seperti dikisahkan dalam film ‘The Admiral: Roaring Currents’ itu. Namun benteng yang dibangun Kiyomasa di Ulsan, bahkan tak dapat ditembus oleh pasukan akbar Dinasti Ming yang dipimpin Jenderal Yang Hao.

Yang unik dari Kato Kiyomasa selain kecintaannya pada medan perang adalah kebenciannya pada tarian, drama noh, dan puisi. Baginya, samurai yang pernah terlibat ketiga hal itu layak menghukum dirinya dengan seppuku, membedah perut sendiri.

Sebaliknya di Jawa, ada seorang arsitek lain yang juga amat tangguh berperang, namun fasih bersastra, pandai menggubah tari beksan lawung yang gagah, dan terpelajar dalam berbagai hal.

Pangeran Mangkubumi, putra raja Mataram Kartasura, Sunan Amangkurat IV, itulah lelaki yang dipuja-puji bahkan oleh yang memusuhi. Babad Mangkubumi, Babad Giyanti, dan berbagai karya sastra yang ditulis para pujangga resmi Kasunanan Surakarta sesudah berpisahnya kedua Keraton bersaudara pada 1755 selalu menggambarkannya sebagai bangsawan yang amat terhormat, cendikia, berwatak mulia, dan dicintai.

Sejarah memang mencatat, Istana kakandanya, Sunan Pakubuwana II yang kini disebut Keraton Surakarta dengan nuansa warna Bangun Tulak (biru-putih) itu adalah buah karyanya. Dalam Boyong-Kedhaton, perpindahan ibukota dari Kartasura ke Surakarta setelah Geger Pacina 1742, dialah tokoh utama. Tentu mahakaryanya yang berikut adalah Keratonnya sendiri begitu bertakhta sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Berdiri megah di Yogyakarta, dengan nuansa warna Gadhung Mlati (hijau-kuning), kelengkapan struktur kota, Benteng Baluwarti, Jagang, dan Taman Sarinya sungguh tiada dua di masa kemuliaannya.

Semua bermula pada suatu malam dalam tahun 1746, ketika Gubernur Jenderal Van Imhoff dan Patih Pringgalaya menghinanya di Bangsal Pasewakan, sementara sang raja tak sanggup membelanya. Diapun hanya tersenyum.

Tapi senyum itu berbahaya, karena selepas tengah malam dia keluar dari Keraton dengan diikuti duapertiga Pangeran dan kerabat Dinasti Mataram, serta lebih dari separuh para Tumenggung dan Bupati yang berdiri di pihaknya. Sembilan tahun peperangan yang nyaris membangkrutkan VOC diakhiri dengan pembagian kerajaan setelah Syarif Besar Syaikh Ibrahim yang diutus VOC seakan sebagai Duta Daulah ‘Utsmaniyah membujuk Sang Pangeran untuk berdamai.

Dialah sang Arsitek, yang mengukirkan asma Allah dan RasulNya di tiap pilar Keratonnya, dan membangun kotanya yang dipadati simbol keagamaan dan perlawanan, dari bangunan, pepohonan, hingga bentuk dan bilangan. Tata bangunan, tata busana, hingga tata boga tak luput dari perhatiannya.

Kata Zudi Saputro, Editor in Chief Penerbit Pro-U Media, Dan Brown takkan sempurna menulis petualangan Robert Langdon, sang profesor simbologi Harvard, kalau belum mengambil latar di Yogyakarta.


Posted

in

by

Tags: