Di luar ibadah kepada Allah, penanda saling menghormati di antara manusia tidaklah baku rupanya. Ikatan tempat dan zaman sungguh meliputinya. Maka kadang satu sana lain, kita bisa merasa ‘geli-geli-gimana’ ketika melihat cara saudara beraneka bangsa memuliakan sesamanya, bahkan yang telah tershibghah oleh agama Islam yang sempurna.
Melihat dua pria Emirati saling tatap, mendekat, tangan diletakkan di pundak, lalu saling menyentuhkan hidung berulang-ulang satu sama lain sambil bertanya kabar pastilah yang paling bikin “Aw!” Atau menyaksikan dua pria Saudi saling menciumdahi, lalu mendekatkan muka dilanjutkan berbincang dalam senyum sambil saling mengelus jenggot kawannya, itu juga “Hadaw!” Atau bersijumpa dengan orang Gaza, yang kalau cium pipi kanan-pipi kirinya bisa tak habis-habis menyesuaikan tanya kabar dan doa yang tak putus-putus.
Maka ketika seorang ‘Alim muda dari Yordania mempertanyakan kepada saya kebiasaan merunduk ketika bersalaman dan cium tangan orang Indonesia yang dianggapnya ‘melampaui batas’, saya hanya ceritakan hal di atas yang bagi orang Indonesia juga ‘geli-geli-gimana’.
Padahal, cium tangan, bahkan kaki, ada dalilnya. Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin menulis dalam Syarh Riyadhush Shalihin:
المهم أن هذين الرجلين قبلا يد النبي صلى الله عليه وسلم ورجله فأقرهما على ذلك وفي هذا جواز تقبيل اليد والرجل للإنسان الكبير الشرف والعلم كذلك تقبيل اليد والرجل من الأب والأم وما أشبه ذلك لأن لهما حقا وهذا من التواضع. (شرح رياض الصالحين، محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى: 1421هـ)،4/ 451)
“Dua orang tamu Nabi ﷺ memang telah mencium kaki beliau ﷺ. Nabi ﷺ menyetujui tanpa mengingkari. Maka, hukumnya boleh mencium tangan dan kaki seseorang karena kemuliaannya, sebagaimana mencium tangan dan kaki Bapak maupun Ibu, karena memang hak mereka. Inilah bentuk dari sikap tawadhu’.”
Apakah ada contohnya dari Salafush Shalih?
Dalam Siyar A’lamin Nubala’, Imam Adz Dzahabi menukil:
قال محمد بن حمدون بن رستم: سمعت مسلم بن الحجاج، وجاء إلى البخاري فقال: دعني أقبل رجليك يا أستاذ الأستاذين، وسيد المحدثين، وطبيب الحديث في علله .(سير أعلام النبلاء ط الحديث، شمس الدين أبو عبد الله محمد بن أحمد بن عثمان بن قَايْماز الذهبي (المتوفى: 748هـ)، 10/ 100)
“Muhammad ibn Hamdun berkata, ‘Saya mendengar Imam Muslim saat bertandang pada Imam Bukhari berkata: “Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai gurunya para guru, tuannya para muhaddits, dan tabibnya hadits dalam mengetahui illatnya.”
Dari kitab yang sama tercatat; Sahl ibn Abdillah At Tasturimeminta agar Imam Abu Dawud menjulurkan lidahnya, lalu beliaupun menciumnya. Masyaallah.
Nah, contoh memuliakan guru ini mungkin terasa ekstrim. Tapi curilah selalu kesempatan untuk memuliakan orang berilmu.
Sebaliknya, kita sebaiknya menolak atau setidaknya merasa ‘geli-geli-gimana’ ketika dimuliakan, seperti Ustadz Cahyadi Takariawan meneladankan ketika kecolongan saya cium tangannya. Ah, memang soal cium-mencium ini #MNCRGKNSKL.